(Dongeng) Mencontoh Bakti Seorang Klunthung Waluh

Intro :
Bila kita mendengar dongeng untuk anak-anak, terutama tentang kancil dan buaya, kancil dan kera, tentu sudah biasa. Lalu bagaimana dengan dongeng tentang Klunthung Waluh? Apakah anda pernah membaca atau mendengarnya? Beberapa tahun lalu, salah satu pabrik susu terkemuka Nestle "Dancow" pernah menerbitkan beberapa buku dongeng, salah satunya "Klunthung Waluh," Nah, kali ini saya bermaksud untuk menceritakan dongen ini dengan gaya bahasa dan versi saya sendiri dan juga disisipkan dalam sebuah kisah tersendiri. Penasaran? Silakan dibaca sampai habis ya... Mari kita perkenalkan dongeng dan hobi membaca untuk anak mulai dari dini...

Tetap Semangat dan Selamat Membaca...

Mencontoh Bakti Seorang Klunthung Waluh

“Rino, ayo bangun, kamu mau berangkat sekolah atau tidak? Ini sudah siang,” kata ibu kepada Rino. “Iya bu, sebentar lagi, Rino masih ngantuk,” sahut Rino kepada Ibunya. Rino merupakan salah satu siswa kelas 4 di salah satu sekolah dasar negeri di Jakarta, Rino merupakan anak yang pemalas. Hampir setiap hari dia selalu sulit untuk bangun pagi, akibatnya, dia selalu terlambat untuk datang ke sekolah. Ibu guru Rino juga sering mengingatkan Rino agar jangan sering terlambat. “Rino, ayo bangun, kamu ini, dibangunin susah sekali, nanti dimarahin bu guru lagi,” kata ibu. Rino akhirnya bangun dengan rasa malas untuk mandi tanpa membereskan tempat tidurnya. “Rino, kalau bangun tidur itu tempat tidurnya dirapikan lagi, jangan malas,” kata ibu kepada Rino, namun Rino tidak mendengarkan perintah ibu, dia langsung bergegas ke kamar mandi, akhirnya, ibu juga yang merapikan tempat tidur Rino.

Setelah siap, ibu langsung menyiapkan sepeda untuk mengantar Rino berangkat ke sekolah. Ibu mengayuh sepedanya cukup cepat agar Rino tidak terlambat sampai sekolah.Benar saja, ketika sudah sampai di gerbang sekolah, penjaga sekolah sudah akan menutup gerbang, karena jam pelajaran pertama sudah akan dimulai. Rino kemudian berpamitan kepada ibu, ibu pun juga memberikan ciuman hangat kepada anak kesayangannya itu. Jam pelajaran pertama adalah jam pelajaran Bahasa Indonesia, Bu Ina, yang juga merupakan wali kelas Rino menyuruh murid-muridnya untuk membaca sebuah cerita rakyat berupa dongeng yang berjudul “Klunthung Waluh.”

Dalam cerita itu diceritakan bahwa pada zaman dahulu kala di Pulau Jawa, hiduplah seorang janda yang sedang hamil tua. Meskipun hampir dekat dengan waktu kelahiran, dia tidak hentinya terus bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan juga persiapan keperluan bayinya setelah persalinan nanti. Bu Jinah, begitulah tetangga sekitar sering memanggilnya, meskipun fisik Bu Jinah cukup kecil, namun Bu Jinah memiliki tenaga yang kuat, hampir setiap hari Bu Jinah bekerja menjadi buruh tani atau sekedar membantu pekerjaan rumah tangga para tetangganya seperti mencuci dan membersihkan rumah, bahkan sering kali menjajakan labu milik saudagar kaya yang tinggal di dekat rumahnya. Saat pagi hari, Bu Jinah pergi ke sawah untuk menjadi buruh tani, sepulang dari sawah, Bu Jinah istirahat sebentar, kemudian melanjutkan berjualan labu di pasar, saat sore hari menjelang, biasanya ada tetangga yang meminta bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, atau sekadar membersihkan rumah.

Suami Bu Jinah meninggal saat sedang dalam perjalanan merantau ke Pulau Kalimantan akibat kapal yang ditumpanginya terbalik dan terhempas badai. Saat itu usia kehamilan Bu Jinah sudah memasuki usia tiga bulan. Banyak tetangga sekitar merasa iba kepada Bu Jinah, namun Bu Jinah tidak ingin menyusahkan orang-orang di sekitarnya, dia merasa bahwa dirinya masih mampu bekerja dan tidak mau menggantungkan hidup dengan mengandalkan belas kasihan dari orang-orang di sekitarnya.

Saat tiba masa kelahiran, Bu Jinah meminta tolong bantuan tetangganya untuk dipanggilkan dukun bayi, karena Bu Jinah merasakan bahwa bayinya akan segera lahir. “Mbah, Mbah Giyem, ada yang mau melahirkan mbah, tolong kami mbah,”kata Bu Sani, salah seorang tetangga Bu Jinah yang memanggil-manggil Mbah Giyem, seorang dukun pijat yang cukup terkenal di kampung itu. “Iya, iya tunggu sebentar, mbah mau ambil selendang sama baskom dulu,” kata Mbah Giyem menyahut dari dalam rumah. Setelah siap, Bu Sani dan Mbah Giyem bergegas menuju rumah Bu Jinah. Mereka berdua menggunakan daun pisang sebagai payung, karena kebetulan hujan cukup deras mengguyur kampung mereka malam itu.

Tidak begitu lama, bayi laki-laki yang dikandung Bu Jinah lahir dengan selamat, Mbah Giyem langsung memandikan bayi laki-laki itu, kemudian Mbah Giyem juga menyelimuti bayi itu dengan selendang dan kain gendong, agar tidak kedinginan. Namun, Mbah Giyem tidak lantas memberikan bayi itu kepada Bu Jinah, Mbah Giyem menggendong bayi itu hingga tenang dan menunggu kondisi Bu Jinah pulih kembali. Tak beberapa lama kemudian, Mbah Giyem berkata kepada Bu Jinah, “Alhamdulillah, kamu harus bersyukur kepada Tuhan, anak laki-lakimu lahir ke dunia dengan selamat,” “Alhamdulillah Mbah Giyem, anak laki-laki?” tanya Bu Jinah lagi untuk meyakinkan. “Benar Bu jinah, laki-laki, tapi…” sahut Mbah Giyem dengan terbata-bata, “Tapi kenapa Mbah?” tanya Bu Jinah dengan nada penasaran, “Bu Jinah harus bisa menerima takdir, kalau anak Bu Jinah lahir dengan fisik yang kurang sempurna,” Jelas Mbah Giyem dengan nada menenangkan. Bu Jinah terdiam sejenak, wajahnya yang tadi bahagia tiba-tiba berubah menjadi sedih, “Tangan dan kakinya tidak sempurna Bu Jinah,” jelas Mbah Giyem, seraya menunjukkan buah hati Bu Jinah ke pelukan ibunya. 

Bu Jinah kemudian memeluk anaknya itu dengan dekapan erat penuh kasih sayang. Bu Jinah tetap bersyukur, meskipun kondisi fisik anak yang dilahirkannya tidak sempurna, namun anaknya lahir dengan sehat dan selamat. Bu Jinah percaya bahwa anak yang dilahirkannya merupakan titipan dari Tuhan, sehingga dia harus menjaga, merawat dan membesarkan anaknya itu dengan baik. Karena bentuk fisiknya yang yang kurang sempurna terutama pada bagian kaki dan tangan, begitu juga dengan tubuhnya yang sedikit gemuk dan bulat, maka anak itu diberi nama Waluh. “Waluh” dalam Bahasa Jawa sendiri berarti Labu.

Semakin hari, Bu Jinah semakin sayang kepada si Waluh, Waluh mulai tumbuh menjadi anak yang periang dan cerdas. Tak hanya itu, Waluh juga tak malu untuk bergaul dengan siapapun, termasuk dengan teman-teman di kampungnya. Meskipun memiliki keterbatasan fisik berupa bentuk tangan dan kakinya yang kurang sempurna, Waluh tidak merasa malu untuk bergaul. Meskipun terkadang jika berjumpa dengan orang asing dari kampung lain, Waluh selalu menjadi bahan pembicaraan. “Waluh, anakku, ayo pulang nak, hari sudah menjelang gelap,, besok kan bisa main lagi,” panggil ibu kepada anak kesayangannya itu. “Iya bu,” sahut Waluh, “Teman-teman, kita sudahi ya permainannya sore ini, besok kita main lagi, ibuku sudah memanggil dan hari juga sudah menjelang gelap,” kata Waluh kepada teman-temannya. “Iya Waluh, besok kita main lagi ya, di tempat ini,” jawab saluh satu temannya, akhirnya mereka pun mengakhiri permainannya dan pulang ke rumah masing-masing. 

Waluh adalah anak yang patuh kepada ibunya, setiap perkataan dan perintah ibunya selalu dia turuti, Waluh sekalipun tidak pernah membantah ibunya. Waluh sangat sayang kepada ibunya, karena ibunya itu adalah satu-satunya orang tua yang dimilikinya, yang sejak kecil memberikan kasih sayang yang tiada hentinya. Keterbatasan fisik yang dimiliki Waluh juga bukan menjadi alasan bagi Waluh untuk tidak mandiri. Waluh tidak ingin tumbuh menjadi anak yang hanya menyusahkan ibunya. Setiap hari, Waluh rajin bangun pagi.Karena bentuk kakinya yang tidak sempurna, Waluh berjalan dengan cara menggeser tubuhnya ke depan, secara bergantian sisi kanan dan kiri. Karena gerakannya yang cepat, jika terlihat dari jauh, Waluh seperti menggelinding, sehingga orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan “Klunthung Waluh”, yang artinya ”Labu menggelinding.”

Seperti biasanya, Waluh selalu membantu ibunya membersihkan rumah dan menyapu halaman, Waluh memegang gagang sapu dengan cara memeluknya dengan menggunakan kedua lengannya yang tidak sempurna, kemudian dia menggerakkannya secara perlahan.Orang-orang yang melihat Waluh sangat kagum dengannya, karena dengan keterbatasan yang dimilikinya, Waluh tetap berusaha membantu ibunya. Setelah selesai menyapu, Waluh membantu ibunya pergi ke pasar untuk berjualan labu, Ketika berjalan sambil mengangkut labu, seringkali teman-temannya mencandainya dengan mengatakan, “Waluh kog nggendong Waluh,” yang artinya “Labu kog mengangkat Labu,” namun candaan itu tidak pernah dia masukkan ke dalam hati, candaan itu dia anggap sebagai tanda keakraban dengan teman-teman bermainnya. Waluh selalu semangat keliling pasar dengan membawa labu dagangannya, sedangkan ibunya, berjualan dengan membuka lapak kecil bersama pedagang lainnya di dekat pintu masuk pasar.Sedikit demi sedikit labu yang dibawanya laku terjual. Jika sudah habis, Waluh menghampiri ibunya dan menyetor hasil jualan kepada ibunya. “Waluh, sudahlah nak, kamu tidak usah berjualan keliling pasar, duduk saja di sini bersama ibu, kalau berkeliling terus, nanti kamu kelelahan” kata ibu, “Tapi bu, kalau kita berkeliling, labunya akan cepat laku, karena kita yang menghampiri pembeli, jangan khawatir bu, Waluh kan laki-laki, tenaga Waluh cukup kuat,” kata Waluh kepada ibunya, “Ya sudah, tapi kalau kamu kelelahan, jangan memaksakan diri untuk berjualan keliling pasar, nanti kamu bisa sakit,” pesan ibu lagi, “Baik bu,” jawab Waluh.

Saat malam hari tiba, sebelum tidur, Waluh selalu berdo’a kepada Tuhan, agar ibunya juga dirinya selalu diberikan perlindungan, kesehatan dan selalu diberikan keberkahan rezeki dari berbagai usaha yang dilakukan oleh keduanya.  Do’a tulus Waluh didengar oleh Tuhan, rasa kecintaan terhadap ibunya yang mendalam dan harapan besarnya untuk bisa membahagiakan ibu tercintanya itu sebentar lagi akan dikabulkan.  Saat memasuki usia dewasa, Waluh semakin sadar bahwa ibunya semakin tua, apalagi Waluh sering melihat teman-teman sebayanya sudah mulai menggarap sawah, sering kali, Waluh juga ingin bersama teman-temannya menggarap sawah. Sampai pada akhirnya, Waluh dengan niat dan tekad yang bulat dia mengajukan diri kepada saudagar terkaya di kampungnya untuk menggarap sawah milik saudagar tersebut. Ketika akan memasuki pekarangan rumah Pak Warijan, Pak Warijan sudah mengamati Klunthung Waluh dari kejauhan, saat sudah mendekat, Pak Warijan memanggil Klunthung Waluh, “Waluh, ada apa? Ada yang bisa bapak bantu untuk kamu?” Tanya Pak Warijan, “Iya pak, ada, saya butuh pekerjaan pak,” jawab Waluh, “ ”Pekerjaan apa lagi Waluh? Bukankah setiap hari kamu sudah membantu ibumu berjualan labu?” “Iya pak, tapi saya masih ingin membahagiakan ibu saya, mungkin bapak bisa mempekerjakan saya di sawah,” jawab Waluh lagi. “Apa? bekerja di sawah? Apakah kamu yakin sanggup?” Tanya Pak Warijan sedikit tidak yakin, “Iya pak, saya sanggup, bapak jangan ragu terhadap kemampuan saya, tenaga saya cukup kuat pak, meskipun saya memiliki keterbatas fisik seperti ini,” jawab Waluh meyakinkan. Karena mendengarkan jawaban Waluh yang cukup meyakinkan, akhirnya Pak Warijan memberikan kesempatan kepada Klunthung Waluh untuk bekerja di sawah miliknya. 

Dengan berbekal cangkul dan caping, Waluh berangkat ke sawah, bahkan ketika masuk ke sawah, separuh tubuhnya hampir tenggelam di dalam lumpur. Sekuat tenaga dia mencoba menggarap sawah milik Pak Warijan, ketika hari sudah menjelang siang dan matahari tepat di atas kepalatiba-tiba datang angin bertiup kencang, muncul cahaya menyilaukan di sekeliling Klunthung Waluh, kemudian dari cahaya yang menyilaukan itu muncul sosok seorang wanita yang cantik, ternyata sosok wanita itu adalah seorang bidadari yan sengaja mendatangi Klunthung Waluh. “Si… siapa kamu?” Tanya Klunthung Waluh dengan sedikit rasa takut, “Jangan takut Waluh, aku ini bidadari yang diperintahkan untuk membawakan sedikit hadiah untukmu, karena sifat dan sikap baikmu, terutama terhadap ibu yang sudah susah payah merawatmu sendirian, terimalah pemberian ini Waluh,” Kata Bidadari cantik kepada Waluh seraya memberikan sebuah kantung berisi mata uang emas, “Gunakan dengan sebaik-baiknya Waluh, semoga kamu tidak perlu bekerja susah payah di sawah lagi,” kata Bidadari kepada Klunthung Waluh dengan penuh harap, seraya menghilang perlahan dari hadapan Waluh. Kemudian, Waluh berlari dengan kencang, saking kencangnya sesekali tubuhnya menggelinding, benar-benar menggelinding seperti labu. Waluh menceritakan kejadian yang dia alami kepada ibunya. Ibunya terharu mendengar kisah yang dialami anak kesayangannya itu. Keesokan harinya Waluh dan ibunya berniat membeli banyak bahan pokok di pasar induk di kampung sebelah untuk dijual kembali.Tak seperti biasanya, pasar induk terlihat lebih ramai, dengan penuh niat dan semangat, Waluh dan ibunya membeli bahan-bahan pokok, setelah dirasa cukup berkeliling dan membeli barang yang akan dijual lagi, mereka berdua memutuskan untuk pulang. Saat tiba di rumah, Klunthung Waluh merasakan keanehan pada saat menghitung sisa uang di kantung uang yang diberikan oleh bidadari, bukannya berkurang karena telah digunakan untuk membeli barang, namun jumlah uangnya malah semakin bertambah. Karena merasa bahwa uang-uang itu bukan miliknya, Waluh merasa bahwa mungkin para pedagang di pasar induk kemarin salah menghitung dan memberikan kembalian yang berlebih.

Keesokan harinya Waluh dan Bu Jinah berniat pergi ke pasar induk, namun setibanya di sana, kondisi pasar sepi, dan tidak ada pedagang yang berjualan lagi di sana. Saat tanya kepada penduduk sekitar, ternyata letak pasar induk bukanlah di tempat mereka membeli barang-barang kemarin, namun pasar induk berada di tengah kampung.  Tempat yang mereka berdua kunjungi itu hanyalah tanah kosong dekat perbatasan kampung dan belum pernah ada yang berjualan di tempat tersebut. Mendengar cerita itu mereka berdua terkaget-kaget, tidak percaya. Rupanya, seluruh pedagang yang berjualan ditempat itu kemarin adalah jelmaan dari banyak bidadari yang berniat memberikan hadiah kepada Klunthung Waluh beserta ibunya. Mereka berdua tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan atas rezeki yang telah mereka terima. Semenjak saat itu, Klunthung Waluh dan ibunya berjualan bahan-bahan pokok di pasar, tidak lagi hanya menjual labu milik Pak Warijan. 

Setelah selesai membaca kisah tentang Klunthung Waluh, Rino merasa bersalah, karena selama ini dia menjadi anak yang pemalas dan tidak pernah membantu ibunya. Saat sampai di rumah, Rino memberi salam kepada ibunya, dan seketika itu Rino berlari memeluk ibunya. Rino berjanji akan selalu berbakti, mematuhi dan membantu ibunya serta berjanji tidak akan menjadi anak yang pemalas lagi.
 

Tidak ada komentar: