Verkauferin Cafe,
Berlin, Jerman
Cinta
dan kasih sayang merupakan sifat paling dasar yang ada di dalam hati setiap
manusia, tak ada manusia yang dapat hidup di dunia ini tanpa adanya kasih
sayang. Bahkan seorang penjahat yang keji sekalipun, tetap
memiliki sedikit rasa sayang dalam hatinya, ya, seorang penjahat dapat tumbuh
menjadi dewasa juga dikarenakan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya,
hanya saja mungkin lingkungan hidupnya lebih keras dari orang-orang pada
umumnya.
Betapa
indah rasa cinta dan kasih sayang
ini hingga seseorang bisa dibuat serasa melayang karenanya. Sore ini, aku memandangi langit yang perlahan berubah
menjadi lalang harus menggunakan sweater tebal dan syal hingga dua lapis,
sesekali terlihat beberapa dari mereka bersin sembari bersedekap kedua
tangannya untuk kemerahan, beberapa kelompok burung terlihat mulai kembali ke
tempat peraduannya, angin dingin mulai berhembus, rasa dinginnya yang menusuk
hingga ke tulang, membuat setiap orang yang berlalu menjaga agar tubuhnya tetap
hangat. Pemandangan seperti tiu merupakan pemandangan rutin yang dapat kulihat
dari dalam sebuah restoran di pojok Kota Berlin saat menjelang musim dingin.
Seorang pelayan tua menghampiriku, dan menanya kan
kepadaku, “Was mochten Sie trinken?” (Apa
yang ingin anda minum?) “Ein Glas kaffee,”
(Segelas kopi), tak beberapa lama pelayan tua itu menyajikan depanku beberapa roti
bawang sebagai hidangan rutin dengan secangkir teh hangat, aku berusaha menikmati
suasana sore kota Berlin dengan penuh rasa syukur, karena sebentar lagi aku
akan berkesempatan pulang ke tanah air. Ketika akan menikmati sajian yang ada
di depanku, ponselku bergetar sekali, seketika aku langsung membuka pesan
singkat yang masuk, ternyata pesan itu dari Lovinska, rekan kerjaku
berkebangsaan Rusia yang membantuku memesan tiket pesawat untuk pulang ke
Indonesia, ayahnya adalah seorang manajer di perusahaan travel liburan
mancanegara yang ada di Kota Berlin. Beberapa minggu lalu Lovinska menawarkan
bantuan kepadaku untuk memesankan tiket karena menurut informasi dari ayahnya
sedang ada promo penerbangan murah ke Indonesia. Lovinska mengabarkan bahwa
ternyata masih ada satu kursi yang tersedia untuk keberangkatan besok pagi dan
ayahnya telah memesankannya untukku, rasanya aku tak sabar lagi untuk segera
bisa pulang ke tanah air, setelah tiga tahun mengabdi di negeri orang.
Mendengar kabar baik ini, aku langsung menghubungi Bibi
Arfiana, bibiku yang ada di Indonesia. Rumahnya ada di Kota Cilegon, Provinsi
Banten, dekat sekali dengan pabrik baja Krakatau Steel, sebuah kota industri di
ujung barat pulau jawa. Tiga tahun sudah aku tidak berkunjung ke sana.
Saat akan melanjutkan menikmati sajian yang ada di
depanku, aku tersadar, ternyata minuman yang tersaji tidak sesuai dengan
permintaan, aku langsung memanggil pelayan tua tadi, “Herr Ober, Ich habe Kaffee bestelt, keinen Tee,” (Hai pelayan, aku
memesan secangkir kopi, bukan teh), kataku dengan sedikit lantang, “Entschuldigung, tut mir leid. Ich bringe
Ihnen sofort den Kaffee,” (Maaf, aku akan segera membawakan kopi untuk
anda), jawab pelayan tua itu dengan cekatan. Ya, Verkauferin, nama pelayan tua
itu, sebetulnya dia juga sekaligus pemilik toko ini, begitulah Jerman, seorang
pengusaha bahkan ingin melayani pelanggannya sendiri, tapi sayang, kali ini dia
salah membawakan pesanan, dan akhirnya, dia harus memberikan teh gratis
untukku.
Hari mulai gelap, aku gunakan syal ku kembali, lengkap
dengan sweater tebal, kutinggalkan restoran milik Verkauferin, ternyata rasa
dingin ini sungguh menusuk tulang, aku harus bergegas kembali ke apartemen.
Saat tiba di apartemen, tidak terdengar suara apapun di
lantai dasar, padahal biasanya jam sore seperti ini, banyak tetangga
apartemenku yang bermain kartu bersama dan saling bercanda menceritakan
kejadian yang dialami di tempat kerja. “Wohin gehen di Leute?” (Kemana
orang-orang pergi?) “Die Leute sind im Kino,” (Mereka pergi ke bioskop), jawab
sang pemilik aparteman dari balik tembok dapur. Ternyata, aku lupa sudah janji
dengan mereka untuk pergi ke bioskop malam ini, apa boleh buat, sepertinya aku
sudah terlambat, akhirnya aku memutuskan untuk mempersiapkan barang-barang yang
aku bawa untuk pulang ke tanah air. Pagi-pagi buta aku memesan taksi untuk ke
bandara, aku hanya meninggalkan sepucuk memo untuk teman-teman di apartemenku
bahwa aku buru-buru pulang ke Indonesia karena hanya tinggal penerbangan besok
saja yang tersisa kursi untukku.
Saat tiba di bandara, seseorang memanggilku dengan bahasa
Indonesia, namun berlogat khas Rusia “Putra, aku di sini!” Teriak Lovinska
kepadaku, setelah menurunkan koper, aku langsung menghampirinya, “Hai Lovinska,
terima kasih banyak, aku berhutang padamu,” “Tidak, jangan khawatir, ini bukan
sesuatu yang sulit, ayahku sudah biasa melakukan ini juga untuk teman-temannya,
oh iya, ini tiket dan tanda pengenalmu,” “Oke, terima kasih banyak, aku harus
bergegas,” “Baiklah, hati-hati di jalan, salam untuk keluargamu di Indonesia,”
pesan Lovinska kepadaku. Lovinska, gadis cantik berkebangsaan Rusia, yang juga
seorang dokter di rumah sakit tempatku mengabdi, benar-benar sangat baik
terhadapku, saat pertama berjumpa dengannya, aku kaget, karena dia mampu
berbahasa Indonesia, ternyata, neneknya adalah orang asli Indonesia yang
menikah dengan kakeknya berkebangsaan Rusia saat sedang berlibur di Bandung.
Sejak pertemuan itu, Lovinska sering menyapaku dan mengajak untuk berbincang
tentang Indonesia, selama ini dia hanya mengenal Indonesia dari internet,
menguasai bahasanya, namun tak pernah mengunjungi negaranya, dia belajar bahasa
Indonesia dari nenek yang kini tinggal bersamanya.
Sepanjang perjalanan, yang aku pikirkan hanyalah kampung
halaman, pemandangan langit yang luar biasa terus menemaniku sepanjang
perjalanan dengan burung besi, aku sendiri juga masih heran dengan diriku ini,
kenapa aku bisa sampai ke negara antah berantah di Eropa? Padahal negeri
sendiri juga pasti banyak dibutuhkan tenaga kesehatan sepertiku. Dulu memang
aku ingin berpetualang, hanya saja aku masih tidak menyangka bahwa petualangan
ini akan berlanjut hingga ribuan kilometer jauhnya serta harus berjuang dengan
kerasnya negeri Eropa.
Sesampainya di Jakarta, lantas aku sambung dengan Bus
Damri untuk menuju Bekasi, aku berniat singgah dulu di rumah lama nenekku yang
kini tengah disinggahi pamanku. Tak lama aku di Bekasi, hanya sekedar melepas
lelah, karen tujuan utamaku adalah Cilegon, Banten.
Perumahan Krakatau
Steel, Cilegon, Banten
“Assalamu’alaykum Bay, aku mau beli pulsa,”
seru Toni kepada Bayu dari luar rumah. “Oke coy, nomor yang mana? GSM apa CDMA?” Tanya Bayu, “Biasa coy, yang
CDMA, buat paketan internet ini,” jawab Toni lagi. “Siaap, oke coy, tapi
bayarnya Cash ya.., soalnya nanti aku mau setor ini,” seru Bayu lagi, “Ah, kamu
Bay, iya deh..ini aku udah bawa uangnya, jangan kuatir,” sahut Toni.
Itulah
pemandangan sehari-hari yang dapat dilihat di sebuah kios pulsa, di sudut
perumahan dekat lapangan sepak bola. Sebuah kios kecil, yang menjual kebutuhan
dasar komunikasi selular bagi penduduk perumahan di sekitarnya.Terlihat
nomor-nomor perdana yang terpajang di lemari kaca, warna-warni produk operator
selular juga menghiasi setiap sudut dinding di dl dalam kios. Di depan kios
terpasang kerajinan pantai khas bali yang sesekali mengeluar suara gemerincing lembut
akibat terhembus angin. “Sriiing…sriiing….,” begitulah kurang lebih suaranya.
Sesosok pemuda yang menjaga sekaligus pemilik kios itu
adalah Bayu, Bayu terkenal dengan sifatnya yang penyabar
dan suka membantu, terutama dalam hal pembayaran pulsa. Untuk pelanggan setianya
yang membutuhkan pulsa namun belum mampu untuk membayarnya hari itu, Bayu
memberi toleransi, sehingga pelanggan setianya itu bisa membayar pulsa di lain
hari.
Bayu,
seorang pemuda yang tidak hanya mandiri dan berpengetahuan luas, namun juga
memiliki hati yang lembut. Bayu
memiliki rasa kasih sayang yang begitu besar terhadap keluarganya, terutama
kepada kedua adiknya Novi dan Ayu. “Kak Bayu…,” panggil Novi begitu manjanya,
“Iya, kenapa Vi?”
Sahut Bayu. “Handphone Novi rusak kak, dari kemarin udah Novi bawa ke tempat
servis, tapi katanya mesinnya sudah rusak, jadi nggag bisa dibetulin,” Cerita
Novi, “Oh gitu, iya deh, Insya Allah, bulan depan kakak kasih handphone baru,”
sahut Bayu, “Yaaah, kog bulan depan sih kak, kan, Novi butuhnya sekarang ini,
buat komunikasi sama teman-teman,” rengek Novi. “Ya, yang sabar dong Novi, kan
besok lusa itu udah ganti bulan, nungguin kakak dapat bonus dari bos operator
seluler” rayu Bayu.“Ya udah deh, janji ya kak?” rengek Novi seraya mengacungkan
jari kelingkingnya kepada kakaknya itu. “Iya, Insya Allah, mudah-mudahan Allah
kasih rezeki buat kakak, biar bisa kasih kamu handphone tepat waktu,” sahut
Bayu, seraya mengikatkan jari kelingking kepada adik bungsunya itu. “Horeeeee,
asyiiik, Alhamdulillah, makasih ya kak, kakak memang baik banget deh,” seru
Novi kegirangan.
Sang
kakak lalu tersenyum bahagia, dia gembira, meskipun belum dapat memberikan apa
yang diminta adiknya saat itu juga, setidaknya, dia bisa memberikan harapan
yang dapat melegakan hati adik bungsunya itu. Novi memang sedikit manja, hal
ini wajar, karena dia anak paling kecil, sehingga merasa apa yang dia minta
pasti dikabulkan, apalagi dia paham betul bahwa kakak sulungnya itu memiliki
hati yang lembut, dan paling tidak tega melihat adik-adiknya dalam keadaan
sedih. Sebenarnya Bayu juga sangat mengharapkan bonus yang akan dia terima di
awal bulan nanti, tapi mau bagaimana lagi, adiknya yang manja itu benar-benar
merengek, dan dia takut adiknya akan sedih berkepanjangan,
“Kak
Bayu, Ayu sama Novi berangkat dulu ya,” pamit Ayu yang akan pergi berangkat
kuliah dan Novi yang akan berangkat sekolah. “Iya, ati-ati ya, di jalan, ingat
Novi, kakaknya jangan diboncengin ngebut-ngebut ya, patuhi rambu-rambu, terus
juga jangan diulangin lagi bonceng bertiga sama teman-teman kamu yang kemarin
itu,” Nasehat Bayu kepada Novi. “Iya, kak, bawel banget sih. “Eeeh, dikasih
tahu kakak kog malah ngomel, nanti jatuh lagi kayak kemarin baru kamu kapok,”
sahut bayu.“Aduuuh, jangan dong kak, kakak kog malah bilang begitu sih,” jawab
Novi. “Makanya, kalo dibilangin yang nurut, itu nanti sore, kak Ayu juga jangan
lupa dijemput, nanti kamu keluyuran lagi, lupa lagi jemput kak Ayu,” ingat Bayu kepada adik bungsunya.
“Iya kakak, woles aja, Novi nggag
bakalan lupa, ya udah, Novi berangkat dulu ya sama kak Ayu, daaa,
Assalamu’alaykum,” pamit Novi, “Iya, Wa’alaykumsalam,”
“Bayu,
makan dulu sini, kamu dari tadi suruh makan kog susah banget, mama ambilin ya,”
panggil mama kepada anak sulungnya itu, “Iya ma, boleh, emang hari ini mama
masak apa?” Tanya Bayu kepada mamanya. “Masak kesukaan kamu ini, masak sambal
petai sama tempe goreng, sayurnya sayur kangkung,” sahut mama. “Wah, enak
banget kayaknya ma, Bayu mau sayurnya yang banyak ma,” kata Bayu, “Iya, kamu
tunggu di situ aja, mama ambilin, nanti kamu kesusahan kalau bolak-balik naik
turun tangga, takutnya kamu nanti jatuh lagi dari kursi roda” jelas mama. “Iya
ma, bayu tunggu di depan,” jawab Bayu.
“Ini
bay, mama udah ambilin, sayurnya banyak kan?” Tanya mama, “Iya, ma, ini udah
cukup, makasih ya ma,” tutur Bayu, “Iya, udah, kamu makan yang banyak, terus
obatnya diminum,” kata mama, “Iya ma, oke,” sahut Bayu. Sambil menyantap
makanannya, Bayu dan mama membicarakan tentang kedua adik Bayu yang manja,
“Bay, kamu itu jangan terlalu memanjakan adik-adik kamu, terutama si Novi, mama
nggag melarang kamu kasih sesuatu ke mereka, tapi mama berharap kamu tidak
terlalu memanjakan, karena mama sama papa mendidik mereka itu biar jadi anak
yang disiplin dan mau mengerti kondisi keluarganya, jadi nggag cuma bisanya
merengek-rengek terus,” nasehat mama kepada Bayu. “Iya ma, Bayu juga nggag
terlalu memanjakan kog, lagian si Novi kan handphone nya rusak, dan Bayu Insya
Allah sebentar lagi dapat bonus, jadi ya Bayu bisa kasih handphone buat Novi, udah
deh, mama nggag usah khawatir,” jawab Bayu dengan lembut. “Ya sudahlah,
terserah kamu, mama sekedar mengingatkan, oh iya, tadi Putra telepon, katanya besok mau ke
sini, besok malam dia berangkat dari Bekasi,”
kata mama.“Wah, beneran mah?Aga mau ke sini lagi? Alhamdulillah, setelah tiga tahun tak berjumpa, akhirnya
Bayu ada temen ngobrol sama jalan-jalan lagi ini,” Tanya Bayu dengan
ceria.“Iya, beneran, tadi dia juga bilang kalo udah mendarat di Jakarta tadi pagi,
dia juga bilang, kamu tinggal tunggu aja di rumah, nggag usah njemput, nanti
kamu kecapean,”lanjut mama.
Bayu
sedang dalam kondisi kurang sehat, akhir-akhir ini Bayu memang mudah sakit,
karena daya tahan tubuhnya yang sedang menurun. Sudah hampir dua tahun ini Bayu
harus duduk di kursi roda untuk menjalani kegiatannya sehari-hari, dia jatuh
sakit dua tahun lalu secara tiba-tiba. Berbagai pengobatan baik medis maupun
alternatif sudah Bayu jalani, namun semuanya masih belum membuahkan hasil yang
nyata. Aku Putra,
sepupu Bayu yang biasanya
rutin mengunjunginya setiap tiga bulan sekali sebelum keberangkatanku ke Jerman tiga tahun lalu,
aku berkunjung untuk menghiburnya, menemaninya mengobrol sebagai teman curhat
dan yang paling penting, aku senang sekali mengajak Bayu jalan-jalan keliling
kota. Namun kali ini, tiga tahun sudah aku mengabdi di Berlin,
Jerman, dan khusus untuk kunjunganku kali ini, Bayu
benar-benar sudah menyusun jadwal kegiatan yang akan kami lakukan bersama-sama.
Bahkan dia rela apabila harus menutup
kiosnya sementara agar bisa seharian penuh beraktivitas bersamaku. Dalam
kunjunganku kali ini, aku juga sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuknya,
rencananya aku kan mengajaknya berjalan-jalan ke toko alat kesehatan dan
membeli kursi roda baru, karena kata bibi,
dia sering mengeluhkan kursi rodanya itu sudah tidak cukup nyaman untuk
dipakai.
Saat
tiba di Cilegon, kota tempat tinggal Bayu, aku begitu senang, dan tak sabar
lagi ingin cepat sampai ke rumah Bayu, aku tak sabar lagi melihatnya tersenyum
bahagia melihat sepupunya ini jauh-jauh datang dari Jerman. “Assalamu”alaykum”,
salamku di depan rumah Bayu, “Wa’alaykumsalam, eh, Putra sudah sampai, sini, ayo
masuk, udah ditungguin Bayu dari tadi” sambut Bibi Arfiana. “Iya bibi, terima kasih,” sahutku,
seraya mencium tangannya. Aku
masuk, dan melihat bayu sedang sibuk dengan gadgetnya, wajahnya begitu serius,
mungkin dia sedang berkomunikasi dengan bos nya lewat sosial media. Aku terus memandanginya dari
belakang, aku merasa terharu, melihat kondisi tubuhnya sekarang, benar-benar
pemuda yang sabar dan tegar. Dalam
kondisi yang duduk lemah di kusi roda, dia masih memiliki semangat untuk
berusaha mandiri. Setelah dia meletakkan gadget di atas meja yang ada di
dekatnya, aku mengucapkan salam kepadanya, “Assalamu’alaykum kak Bayu, Putra udah sampai ni,”
“Wa’alaykumsalam, Putra,
akhirnya kamu sampai juga, Alhamdulillah, aku udah nungguin kamu dari tadi,”
jawab Bayu.
Aku
menghampirinya secara perlahan, dia menatap mataku begitu dalam, begitu juga
aku, yang menatap matanya hingga mataku berkaca-kaca, tapi aku berusaha untuk
tidak menampilkan kesedihan di depannya. Aku menyalami tangannya,
lalu memeluk tubuhnya yang terlihat semakin kurus saja.“Gimana kak, kabarnya,
udah mulai baikan?” Tanyaku dengan lembut, “Ya beginilah Put, Allah lagi sayang banget
sama kakak, jadi kakak masih dikasih perhatian banget ini,” jawabnya dengan
tegar. “Gimana bisnis pulsanya? Kayaknya kiosnya makin ramai aja nih, tambah
lemari kaca baru pula,” sahutku,”Ya, Alhamdulillah Put, lumayanlah, bisa buat
kasih uang jajan Ayu sama Novi, sama ngebantu mama papa,” jawabnya lagi. “Kamu sendiri
keliatan agak kurusan Put,
kamu juga sakit ya?” Tanya Bayu, “Alhamdulillah, Putra sehat kog kak, ini mungkin karena kerasnya hidup di Jerman, dengan negeri yang
banyak musi, ditambah lagi kerja di rumah sakit paling sibuk di Berlin,
jadi ya sekarang aktivitasnya lebih banyak, ketimbang pas jadi mahasiswa dulu
kak,” jawabku dengan senyum. “Oh, gitu, gimana tempat kerjanya? Nyaman kan? Udah
mulai dapat gebetan belum nih? Hehe,” Tanya Bayu dengan nada bercanda. ”Alhamdulillah kak, Putra udah mulai bisa
menyesuaikan diri dengan kerasnya hidup
jadi tenaga kesehatan di jerman, kalau gebetan, belum dapat
kak, lagian juga Putra
mau ngumpulin modal dulu sebelum cari gebetan, hehehe, cuman kalau teman dekat ada kak, Namanya Lovinska, dia
orang Rusia,” jawabku dengan santai. “Ha? Orang Rusia? Hebat kamu kalau sampai dapatin dia,
hehehe. Eh, sore ini nanti, kita jalan-jalan yuk di taman
perumahan, aku udah lama nggag jalan-jalan ke sana nih,” ajak Bayu. “Eh, eh, Putra baru aja datang kog udah
minta diantar jalan-jalan, kan kasihan Putra,
masih lelah, besok kan masih banyak waktu,” sahut bibi secara tiba-tiba. “Putra kan orangnya kuat ma, dia
nggag gampang lelah, iya kan ga?” sahut Bayu. “Ya, sebenernya sedikit capek sih kak, tapi nanti sore
Insya Allah udah fit lagi paling, jadi ya kita bisa jalan-jalan,” jawabku.
“Kalau kamu lelah, jangan dipaksakan lho Put,
kakakmu ini memang orangnya nggag sabaran, apa-apa kepinginnya cepat,” kata bibi. “Iya bi, santai aja kog, Putra kan kesatria dari Eropa,”
jawabku dengan nada bercanda..
Setelah
beristirahat sejenak, sore harinya aku mengajak Bayu ke taman area perumahan.
“Kak Bayu, pakai jaket ya, takutnya nanti kedinginan, sore-sore begini biasanya
anginnya kencang,” kataku, “Iya, tolong ambilin ya, jaketnya ada di gantungan
baju di belakang pintu kamarku,” jawabnya. “Oke kak,” jawabku seraya berjalan mengambilkan
jaket untuknya. “Ini kak, dipakai dulu,” kataku, “Iya Put, tapi aku minta tolong lagi
ya, tanganku yang sebelah kiri agak lemas ni, tolong bantu aku masukin lengan
jaket yang sebelah kiri ya,” pintanya. “Jangan-jangan kak Bayu lagi benar-benar
nggag fit ya, sore ini, kog tangannya lemas begitu?” tanyaku curiga. “Enggag, memang begini, kata
dokter, lengan kiriku ini ototnya sudah terkena radang, jadi kinerjanya sudah
sedikit menurun, agak lemas rasanya,” sahutnya lirih. “Oh, begitu kak, iya oke deh,”
sahutku seraya membantunya memakai jaket. Saat ku pegang tangannya,
telapak tangannya begitu dingin, bahkan warna kulit kakak sepupuku ini juga
terlihat semakin pucat, aku sungguh merasa kasihan melihatnya. Namun, meskipun dalam
kondisi yang seperti itu dia masih sanggup tersenyum dan selalu bersyukur.
“Bibi,
kami pergi dulu,” pamitku, “Iya, hati-hati, pulangnya jangan terlalu petang
ya,” jawab bibi.“Iya bi, kami janji,” sahutku lagi. Aku mulai mendorong kursi
roda Bayu keluar rumah. Aku
mendorongnya secara perlahan, dan terus mengamati tubuh sepupuku ini dari
belakang, tak terasa air mataku menetes, namun aku berusaha untuk menahan, agar
air mataku tidak keluar dengan deras. Akhirnya kami sampai juga di taman,
sungguh indah pemandangannya, terlihat ilalang dari kejauhan, begitu hijau dan
melambai-lambai terhembus angin sore, pepohonan yang rimbun, dan sekumpulan
bunga yang indah di bawahnya seakan menyambut kedatangan kami dengan meriahnya.
“Waaah,
bagus banget ya Put,
udah lama aku nggag ke sini, sekalinya balik, udah tambah indah aja nih taman,”
katanya dengan gembira. Aku juga ikut menikmati panorama sore itu dengan hati
yang tenteram, angin lembut di sore itu juga begitu memanjakanku.Ya, angin itu
memanjakanku, tapi angin itu juga membuat kakaku kedinginan, bibirnya sedikit
demi sedikit berubah warna menjadi biru, saat ku pegang tangannya, terasa
sangat dingin, akhirnya, jaket yang ku kenakan aku pakaikan kepadanya untuk
mengurangi rasa dingin yang menyerang. Aku mengambil selembar daun jati kering yang
berjatuhan di sekitar kami, lalu aku duduk di atasnya dan mulai mengajaknya
berbincang. “Gimana kak, udah mulai segar lagi kan pikirannya?” Tanyaku dengan
tersenyum.“Iya Put,
makasih banget, kamu udah datang lagi ke sini, nggag ada yang bisa ajak aku jalan-jalan
selain kamu, makanya mendengar kabar kalau
kamu dating dari Jerman,
rasanya akau nggag sabar, kepingin keliling dunia, hehehe,” jawabnya sambil
tertawa. “Oh iya, besok lusa, temenin aku ke rumah sakit ya, kata dokter aku
harus periksa lagi, kali ini dokter mau lihat kondisi tulang belakang aku, kata
mama, aku akan diperiksa MRI,” lanjutnya bercerita. “Iya kak, pasti aku
temenin, kakak yang semangat ya berobatnya, biar cepat sembuh,” jawabku. “Terus habis itu aku juga
punya jadwal lagi Put,
aku kepingin kamu anterin aku beli hadiah buat Linda, sebentar lagi dia ulang
tahun, aku udah niat mau kasih hadiah yang spesial buat dia,” lanjutnya lagi.
Linda,
dia adalah seorang wanita yang sangat dicintai oleh sepupuku, mereka menjalin
hubungan menjadi sepasang kekasih sejak tiga tahun lalu, sebelum kakakku jatuh
sakit dan masih berjalan setia hingga saat ini. “Oh iya, sehari ini aku kog
enggag ketemu kak Linda, emang lagi dimana dia kak, biasanya dia pulang kuliah
mampir kan?” Tanyaku penasaran. “Linda lagi menjalani studi profesinya di kota Serang Put, dia baru mulai praktek
tiga hari lalu, dia belum sempat pulang ke Cilegon katanya,” jawab Bayu.“Aku punya
cita-cita Put,
kalau nanti aku sembuh, aku bakalan mau ngelamar Linda,” lanjutnya lagi. “Iya
kak, Insya Allah, kalau jodoh, pasti disatukan oleh Allah, nggag akan pergi
kemana-mana, lagi pula kak Linda orang nya cantik, baik dan setia, aku juga
setuju kak Bayu ngelamar dia,” sahutku memberi semangat.
Linda
sungguh sosok wanita tulus yang benar-benar setia, bagaimana tidak, dia selalu
mengunjungi kakak sepupuku sepulang kuliah, rutin mengantarnya ke rumah sakit
untuk berobat dan selalu menghibur kakakku. Dia benar-benar menemani
sepupuku ini dikala suka dan duka, dikala sehat maupun sakit.
Linda juga selalu mengingatkan Bayu untuk meminum obatnya
sesuai petunjuk dokter,bahkan sering kali memarahi Bayu apabila sampai lupa
untuk jadwal periksa ke dokter. Linda tak segan mengajak Bayu untuk jalan-jalan
ke kota, taman bahkan hingga ke pusat perbelanjaan apabila memang mereka sedang
ingin melepas penat. Sungguh pasangan yang romantis, bibi Arfiana sering
bercerita bahwa Linda juga sering memaksa untuk menyuapi Bayu makan apabila
Bayu sedang susah makan. Aku terkadang iri untuk bisa mendapatkan seorang
kekasih yang sangat penyayang dan pengertian seperti Linda.
Begitu
asyiknya kami mengobrol, sampai-sampai tak terasa hari sudah mulai gelap,
matahari mulai memindahkan cahayanya ke belahan bumi yang lain, kami lalu
bergegas pulang. Namun,
saat diperjalanan, Bayu mengalami batuk-batuk, saat kupegang telapak tangannya,
terasa sangat dingin, lalu ku sentuh lehernya, badannya agak panas, aku yakin
sepupuku ini terserang demam. Setelah kuberi minum, batuknya sedikit berkurang,
lalu Bayu berkata kepadaku, “Put,
nanti mampir di minimarket ujung gang sana yang ada ATM nya ya, aku mau ambil
uang, aku punya janji sama Novi mau membelikan dia ponsel,” pintanya dengan
lembut. “Hah? Buat beli ponsel? Nggag
salah tuh kak?” Tanyaku
kaget dan heran. “Enggag
salah Put, beneran, tadi dia minta dibelikan ponsel
baru, soalnya ponsel lama miliknya rusak, sudah dicoba diperbaiki di toko, tapi
tidak bias, rencananya besok lusa bonusku
cair, tapi tadi aku menanyakan kepada bos ku, coba dicek dulu sore ini, siapa
tahu dari keuangan udah transfer ke rekeningku,”
sahutnya lagi. Aku
sangat terheran-heran, dalam kondisinya yang seperti ini, bagaimana bisa dia masih
memikirkan adik bungsunya yang manja dan merengek dibelikan ponsel? Padahal dia sendiri
merasakan kepayahan, tapi masih saja bisa berusaha memenuhi permintaan adiknya
ini. “Udah,
kamu enggag usah kebanyakan mikir sambil melamun, keburu malam ini, kamu anterin aku aja
ambil uang di ATM Put,”
pintanya lagi, “Eh, iya, iya kak, maaf,” jawabku. Aku mendorongnya masuk ke
dalam minimarket itu dan mengantarnya tepat ke depan ATM, aku memberikan dompet
yang disimpan di kantung belakang kursi roda.
Seusai
mengambil uang untuk membeli ponsel, aku bertanya kepada sepupuku yang
membuatku masih penasaran, “Kak, kakak sendiri sebenernya butuh banget uang ini
kan? Lumayan
sebenernya kan kak buat keperluan berobat?” “Kamu masih belum paham juga ya Putra, hidup di dunia ini itu
cuma sekali, jadi kalau kita punya kesempatan membahagiakan orang, apalagi
keluarga atau sanak saudara kita sendiri, lebih baik segera dilakukan, jangan
hanya terus memikirkan diri sendiri, terlalu egois itu nggag baik,” jawabnya
dengan perlahan. “Tapi kan kak…” “Udah, nggag usah kebanyakan tanya dan nggag
usah kebanyakan berdebat, nanti kamu cepet tua..” jawabnya dengan sedikit
ketus, “Lama-lama kamu juga nanti akan mengerti, kamu kan juga seorang kakak,
kalau suatu saat nanti adik kamu merengek-merengek meminta sesuatu yang
disukainya, pasti kamu akan ngelakuin hal yang sama dengan apa yang aku lakuin
sekarang, aku berani jamin kamu nggag bakal tega untuk nggag ngabulin
permintaan adik kamu,” lanjutnya.
Aku
masih saja takjub dengan manusia ini, dengan kondisinya yang sedang sakit, dia masih
bisa dan punya keinginan untuk memenuhi rengekan adiknya, yang semestinya bisa
ditunda terlebih dulu. Berbagi
kebahagiaan menjadi alasan utama dalam penjelasannya kepadaku, membuatku tak
bisa lagi membantah. Setelah pulang dari
masjid seusai beribadah, aku beristirahat di kamar Bayu, baru saja meletakkan
kepala ini di bantal, ponselku berdering, di layar muncul nama Lovinska. Aku
lupa mengabarinya kalau aku sudah tiba dengan selamat. Seketika aku langsung
mengangkat telepon darinya, “Halo, Lovinska...” “Halo Putra, hai boy, apakah
kamu sudah berhasil mendarat dengan selamat?” “Iya, maafkan saya, saya lupa
memberi kabar kalau saya sudah sampai di Banten,” “Oh, syukurlah, saya cuma
mengingatkan jangan lupa untuk pesan tiket pulang ke Berlin, surat cuti kamu
sudah disetujui manajer, jadi kamu tenang saja..” “Oh benarkah, dr.Severlin
sudah menyetujuinya?” “Ya, meskipun dia dikenal keras, namun empati terhadap
pegawai dari mancanegara cukup besar, kamu tak perlu khawatir,” katanya
menentramkan hatiku. “Terima kasih banyak Lovinska, kamu sudah banyak
membantuku, aku tak tahu lagi bagaimana cara membalasnya,” “Sudahlah Putra,
nikmati saja liburanmu di sana, lampiaskan rasa rindumu pada tanah airmu, oke,
sampai sini dulu ya, kalau kamu butuh bantuan dari Berlin, jangan sungkan untuk
menghubungiku,” “Oke, terima kasih Lovinska,” “Oke Boy, bye...” “Oke Lovinska..
bye...” Setalah menutup telepon, aku melihat Bayu tersenyum dari kejauhan,
“Udah Put, tunggu apalagi?” “Kakak ini, tidak semudah yang dibayangkan kak, cukup
kompleks,” jawabku, “Kamu yang kebanyakan mikir, udah di depan mata, bule
lagi..Hihihihihi,” candanya kepadaku.
Musim penghujan mulai tiba di Indonesia, angin lembab
beraroma tanah sudah sering mulai tercium, awan mendung juga sudah mulai tak
malu untuk menampakkan diri. Aku memakai baju lengan panjangku hari ini,
lengkap dengan syal yang kubawa dari Berlin, ya, hari yang ditunggu Bayu telah
tiba, kami berdua pergi ke pusat perbelanjaan
terbesar di Kota Cilegon untuk membeli ponsel, kami pergi ke kota dengan menggunakan taksi.
Setibanya di pusat perbelanjaan, aku
bergegas mengeluarkan kursi roda milik Bayu dari bagasi, aku menggendongnya ke
atas kursi roda, kami lalu
bergegas masuk, karena cuaca saat itu sedikit gerimis, aku takut kami akan
kehujanan saat akan masuk ke dalam.
Di lantai dasar, kami mulai melihat-lihat toko yang sekiranya menjual ponsel,
aku melihat ke deretan sebelah kanan, sedangkan Bayu melihat ke sebelah kiri.
Seiring kami berjalan, puluhan pasang mata yang berpapasan dengan kami selalu melihat
dan menatap kondisi Bayu yang duduk di kursi roda, sesekali mereka saling
berbisik, mungkin mereka bertanya-tanya, penyakit apa yang gerangan menyerang
sepupuku ini. Namun, Bayu tidak mempedulikan hal itu, dia fokus terhadap
tujuannya, membelikan ponsel untuk Novi. Betapa tegarnya sepupuku
ini, dia tidak peduli dengan puluhan pasang mata yang menatapnya dengan tajam.
Sampai ketika kami tiba di depan sebuah toko ponsel yang didominasi warna pink,
ada seorang wanita bertubuh sedikit mungil,dia menatap kami dengan sedikit
kening berkerut. Aku sempat menatapnya cukup lama, ketika kami melintas lewat
di depannya, dia memanggil kakak sepupuku, “Bayu..,” panggilnya, aku
menghentikan langkahku seketika, Bayu tak begitu mendengar panggilan untuknya
dengan jelas, Bayu masih tetap fokus pada tujuan utamanya, mencari toko yang
sekiranya menjual model ponsel yang diinginkan Novi.“Kenapa berhenti Put? Itu, toko yang diujung itu
kayaknya dia pajang ponsel yang dimau Novi, ayo kita ke sana,” Tanya Bayu, “Iya
kak Bayu, bentar, ada yang panggil nama kakak tuh,” jawabku, “Siapa yang
panggil, mana dia, kog aku nggag denger?” Tanyanya lagi. Seketika itu aku langsung
membelokkan kursi rodanya dan akhirnya, mereka berdua bertatapan, sekali lagi,
wanita itu memanggil nama kakakku, “Bayu…,” “Murni…?” panggil kakakku
penasaran, “Iya, ini aku, Murni, kamu masih ingat?” “Gimana aku bisa lupa, dulu
kamu yang sering ngajarin aku PR matematika waktu SMP.”
Ternyata,
Murni adalah kawan SMP kak Bayu,
kini dia sedang kuliah mengambil jurusan ilmu matematika di salah satu
perguruan tinggi negeri ternama di Cilegon, dia bekerja paruh waktu di salah
satu toko ponsel yang berada di dalam pusat perbelanjaan yang sedang kami
kunjungi. “Gimana
kabar kamu sekarang Bay?” Tanya
Murni, “Ya, Alhamdulillah, ya begini lah”
jawab kakakku. “Kamu lagi cari apa Bay? Kog kayaknya serius banget aku liatin
dari kejauhan tadi,” tanya Murni lagi, “Aku lagi cari ponsel buat Novi, dari
tadi masih belum ketemu,” jawab Bayu lagi.“Coba sini masuk dulu, siapa tahu di
toko tempatku bekerja ini ada ponsel yang kamu cari,” ajak Murni kepada kami.
Aku
mendorong Bayu masuk ke dalam toko, kami mulai melihat sekeliling kami, beragam
model ponsel yang dipajang merupakan keluaran terbaru dan baru dirilis tahun
ini. Kami mulai berkonsentrasi kembali mencari model yang diinginkan oleh Novi,
dan akhirnya, mata Bayu behenti pada ponsel berwarna merah menyala di ujung rak
sebelah kanan, “Itu dia, itu yang kita cari,” kata Bayu tiba-tiba. Aku mendekat
dan melihat-lihat ponsel yang ditunjuk Bayu, dan ternyata benar, itu adalah
barang yang kami cari.
“Yang
itu harganya berapa Mur?”Tanya Bayu, “Yang itu harganya dua juta lima ratus
ribu rupiah, kalau mau kredit juga bisa, dicicil sepuluh kali, berhubung ini
promo, jadi bunganya 0%,” jelas Murni. “Aku cash aja Mur, Alhamdulillah uangnya masih cukup,”
jawab Bayu, “Putra, tolong ambilin dompetku dong di kantong belakang kursi,”
kata Bayu kepadaku. Kuambil dompet itu dan kuserahkan padanya, Bayu kemudian
membukanya dengan mantap dan tersenyum, dia seakan merasa puas, bisa menemukan
barang yang diinginkan oleh adiknya, dia terlihat sangat bahagia dan berharap
dapat membuat adiknya tidak merengek lagi, agar adiknya bisa seperti
teman-teman yang lain, berkomunikasi dan mengikuti perkembangan sosial media.
Apapun rela dia lakukan asal keluarganya bahagia.
Sebuah
prinsip yang baik sebenarnya, namun aku juga masih sering bingung, karena di
era saat ini, antara keinginan dan kebutuhan, hampir berbanding lurus.Sosial
media yang tadinya hanya ajang sebagai sosialisasi tersier, kini seakan menjadi
sebuah kebutuhan komunikasi primer, tak hanya di kalangan pekerja dan
mahasiswa, namun juga dikalangan pelajar sekolah menengah.
Setelah
kami mendapatkan apa yang kami cari, aku mengajaknya pulang, tubuh Bayu mulai
sedikit demam akibat kelelahan. Setelah hampir sampai di lobby depan pusat
perbelanjaan, ternyata hujan masih turun dengan derasnya, aku mengajak Bayu
untuk menunggu sampai hujan reda, karena pangkalan taksi terletak sedikit jauh
dari pusat perbelanjaan. Aku mengajaknya masuk ke sebuah kafe untuk
beristirahat sejenak. Kafe
yang kami masuki bergaya Amerika
Selatan, didominasi warna coklat dan berhiaskan kepala-kepala kijang yang
diawetkan, lukisan kuda-kuda cantik yang berlari di tanah lapang juga
terpampang di dinding kafe, membuat suasana terasa lebih hangat.
Kami
memesan kopi yang dicampur dengan susu cokelat panas sambil berbincang, “Kafe, aku mau tanya,” kata Bayu,
“Silakan,” jawabku, “Kamu sama Lovinska sudah
sejauh apa hubungannya?,” tanya Bayu penasaran, “Kami hanya sebatas teman kak, ya aku akui kami cukup
dekat, dia sering bantu aku selama di Jerman, hanya saja kalau untuk hubungan
lebih dari teman, sepertinya banyak yang harus dipikirkan kak, mulai dari
kewarganegaraan hingga kepercayaan. Lagi pula, aku mau fokus ke karir dulu kak,”
jawabku dengan jawaban polos. “Ah, kamu ini, udah lagu lama, dulu, zaman kuliah
aku tanya, lagi fokus kuliah, nanti kalau udah lulus dan dapat kerja baru
pacaran, giliran udah kerja, eh, masih aja jawabannya stagnan, mau fokus kerja
dulu, uda deh, cepetan sana, nanti keburu tua, susah,” tanggap Bayu. “Ah, kakak
ini bawel banget nih, santai kak, nanti akhirnya juga pasti dapet, kakak sendiri gimana nih, apa nggag kangen sama Kak
Linda? Kog kayaknya kakak juga udah jarang telepon Kak Linda lagi? Lagi marahan ya?” Tanyaku menggoda. “Ah, kamu
ini, mengalihkan pembicaraan, kami masih tetap berhubungan kog, tapi memang
frekuensinya sedikit aku kurangi, aku nggag mauganggu konsenstrasi dia waktu
lagi mengambil pendidikan profesi saat ini,
keadaanku yang seperti ini aja udah membuat dia khawatir, apalagi kalo aku
sering kontak sama dia pas masa-masa ini, pasti dia tambah kepikiran,” jawabnya
dengan nada bijak. “Aku itu
heran deh sama kakak, sebenernya kakak ini membutuhkan banyak perhatian dari
orang-orang di sekitar kakak, apalagi kekasih
dan keluarga, tapi kakak sendiri malah memberikan perhatian dan malah cenderung
memanjakan mereka, cara berpikir kakak ini aku masih nggag mengerti,” tanya ku
heran. “Kamu ini, itu lagi yang ditanyain, makanya kamu harus rajin-rajin
dengerin nasihat orang bijak,
jadi manusia itu harus lebih banyak memberi daripada menerima, kamu harus cam
kan itu, jangan sampai malah menyusahkan” jawabnya dengan sedikit nada
ketus.“Iya kak, iya, aku udah paham,” jawabku.
Setelah
mengobrol cukup lama dan kopi pesanan kami
telah mulai habis, akhirnya, hujan pun mulai reda, kami segera bergegas pergi
keluar dan menuju ke pangkalan taksi untuk pulang. Sesampai di rumah, aku
menggendong Bayu dari kursi rodanya untuk pergi ke kamar dan beristirahat.
Karena kelelahan, aku memanjakan diri dengan duduk di sofa ruang tengah,
sembari menonton televisi, ditemani camilan dan susu coklat hangat. Saat sedang
menikmati waktu santai ini, Novi datang, duduk di sebelahku, sembari
melihat-lihat dan membuka kardus ponsel barunya, setelah mengeluarkan
ponselnya, dia kemudian mulai menggunakan ponsel itu, raut wajahnya terlihat
begitu gembira, sesekali dia tersenyum dan tertawa saat memandangi layar
ponselnya. Aku memandangi Novi sambil berpikir, bagaimana bisa, dengan keadaan
kakaknya yang sedang sakit, di tega untuk merengek dan meminta dibelikan ponsel
kepada kakaknya, apa yang dia pikirkan? Novi ini seperti monster kecil yang
memiliki gigitan dan serangan tajam dimataku, karena, betapa teganya dia
memperlakukan kakaknya seperti ini? “Novi,” panggilku, namun Novi masih
berkonsentrasi penuh kepada ponselnya, hingga dia tak menanggapi panggilanku,
“Nov, Novi, woi,” panggilku lagi, “Kenapa sih kak panggil-panggil, ganggu aja,
nggag lihat orang lagi sibuk apa?” Jawabnya sedikit ketus, “Sibuk, kamu ini
sibuk ngapain? Mainan begitu kog bilang sibuk” tanggapku, “Ah kakak ini, bawel
ah..” keluhnya. “Dengerin Nov, kamu harus jaga ponsel kamu itu baik-baik,
gunakan secara bertanggung jawab, jangan sembarangan menaruhnya, jangan
sembarangan dipamerin ke orang, kami berdua cari barang itu susah, harganya
juga mahal” nasihatku, “Iya, iya, kakak ini bawel banget, berisik tahu nggag?”
jawabnya lagi. “Eh, kamu ini dikasih tau kakaknya kok malah sewot begini sih?”
tegasku, “Kakak tuh yang bawel, suka-suka Novi dong ponselnya mau diapain, Kak
Bayu beliin buat Novi, kog Kak Putra
yang ribut?” jawabnya Novi dengan nada ketus, “Aku nggag ribut, aku cuma
kasihan sama Kak Bayu, dia rela mengorbankan semuanya buat kamu, termasuk uang
bonus yang didapatnya, apa kamu nggag kasihan? Kamu tega?” tanyaku dengan nada
menekan, “Orang Kak Bayu udah janji kok mau ngebeliin Novi, sebenernya Novi
kasihan, tapi Kak Bayu nggag keberatan kan? Lagian Novi kan juga kepingin kaya
teman-teman,” jawab Novi dengan nada sedikit menurun. “Kamu ini, besok-besok
coba deh kamu pikirin lagi kalau mau minta sesuatu, kasihan itu Kak Bayu, dia
harus berkorban banyak buat kamu, kamu jadi adik juga harus paham kondisi
keluarga,” nasehatku kepadanya, “Iya kak, maaf,” jawab Novi. “Kamu semestinya
minta maaf sama Kak Bayu sana, lagian kamu juga belum bilang terima kasih kan
sama Kak Bayu?” jawabku, “Iya kak, iya, nanti aku bilang sama Kak Bayu,” jawab
Novi.
Perdebatan
singkat, yang sebenarnya dimenangkan oleh Novi, karena, Kak Bayu sudah terlebih
dahulu membelikannya ponsel, namun hati kecil ini berharap, Novi dapat berfikir
lebih bijak terhadap kondisi kakaknya saat ini.
Cilegon adalah kot yn indah dan damai, warga yang tinggal
rata-rata merupakan keturunan Sunda, halus dan penuh kesantunan. Hari ketiga di
Cilegon aku memutuskan untuk jalan-jalan di malam hari tanpa Kak Bayu, aku
khawatir apabila aku mengajaknya keluar malam dia malah akan mengalami demam. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi
jalan-jalan ke kota seorang diri, aku ingin menghilangkan penatku dan lelah pikiranku selama berada di Jerman
dan sedikit menghibur diri dari cara berpikirku yang cukup rumit terhadap semua
tindakan yang dilakukan Kak Bayu terhadap orang-orang yang disayanginya.
To be continue......
1 komentar:
Hadirr.. cape uhuhuhu sudh baca panjang bangt :-)
Posting Komentar