Capaian Mimpi "Sejalan" (1-habis)

Intro:

Ini adalah cerita yang terinspirasi dari perjalanan sebuah kelompok pelajar SMA, ada sedikit kisah nyata, ada sedikit rangkaian jalan cerita di luar kisah nyata. Tulisan ini saya buat beberapa waktu setelah saya lulus Ujian Nasional dan sempat saya ikutkan kompetisi Cerpen, sekarang saya bagi agar semua bisa menikmati dan diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Cerpen ini memang saya tujukan untuk golongan pembaca dari Siswa-Siswi SMA (yang suka sastra tentunya).

Semoga menghibur dan Selamat Membaca....

Kisah Selengkapnya :


Capaian Mimpi "Sejalan

Mari kubagi kisah perjalanan yang penuh dengan nuansa, sebuah perjalanan tentang impian untuk meraih asa yang cemerlang. Perjalanan ini aku mulai saja dari kisahku ketika beranjak SMA. Siapa yang tak suka dengan masa-masa SMA? Sebuah puncak dari kegembiraan seorang remaja, mengekspresikan diri, mencari jati dirinya selayak menggali tambang untuk menemukan mutiara terpendam. Bukan cuma itu, keinginan mengungkapkan rasa dan cinta yang menggelora juga akan menjadi romansa terindah yang pernah dialami umat manusia, ya, dimana lagi kalau bukan di masa SMA.
Kalau ada yang bilang persahabatan itu seperti kepompong, istilah itu tidak berarti bagiku dan kelompok belajarku, mengapa? Karena persahabatan kami terbentuk dari kelompok belajar yang bernama “Sejalan.” (Serikat Siswa-Siswi Seberang Jalan) Sebuah nama yang konyol, bahkan mungkin tak berbobot bagi siapa yang mendengarnya. Kelompok belajar ini terbentuk secara tak sengaja. Kelompok ini terdiri dari perserikatan siswa-siswi SMP seberang jalan, karena kelompok ini memang sekolah asalnya adalah SMP yang lokasinya ada di seberang SMA kami saat ini. Aku bersama keempat kawan cantikku semuanya adalah alumni SMP seberang jalan.
Di dalam kelompok ini, aku-lah yang paling tampan, tak perlu diragukan lagi, keempat anggota yang lain antara lain bernama Irene, Astri, Ida, Muminah, jelas sudah bukan? Aku-lah di sini yang paling tampan. Setiap anggota memiliki keahlian masing-masing dalam pelajaran. Irene, si doktor kimia handal yang siap melibas semua soal-soal kimia yang hampir membuat kami jadi gila. Astri, si ratu matematika, yang selalu cepat dan tepat menghadapi soal-soal ruwet dengan berbagai langkah serta rumus singkat. Ida, seorang fisikawati “kecil” yang siap melahap soal-soal sains dengan gaya berpikir logika selangit. Aku, si tampan penuh kasih sayang kepada alam, yang mampu bertahan dan memahami kehidupan insani dalam biologi. Terakhir si Muminah, dia ahli dalam urusan menjalani hidup. Ya, Muminah adalah tempat kami mencurahkan dan menanyakan persoalan-persoalan yang sulit kami pecahkan dalam kehidupan, terutama masalah cinta dan kasih sayang.
Lengkap sudah kelompok belajar kami ini, kami ini berbeda dengan “komplotan” atau “geng” yang biasa dibentuk oleh anak-anak SMA, karena kami berkumpul hanya benar-benar untuk belajar, diantara kami juga tidak ada yang terlibat cinta lokasi sesama anggota, juga tidak ada yang berpenampilan aneh-aneh seperti baju seragam yang ketat, atau terjulur keluar agar terlihat “keren.” Tak hanya itu, kami juga tidak menggunakan aksesoris yang mencolok, kalaupun memakai aksesoris, itu biasanya hanya sebatas jam tangan. Jadi kelompok belajar kami ini, murni kelompok belajar, bukan seperti kelompok anak SMA yang ada di sinetron-sinetron layar kaca.
Yang kami bahas juga bukan masalah “tempat nongkrong, model baju atau aksesoris terbaru,” yang kami bahas, benar-benar murni masalah pelajaran yang membuat kami hampir gila. Kami tidak memiliki waktu khusus untuk berkumpul, intinya kalau ada kesulitan belajar, semua dihubungi, jadi kami semua bisa berdiskusi, yang paling pertama dihubungi adalah “sang master” dari pelajaran yang akan dibahas. Kejadian paling parah yang pernah dialami kami adalah ketika kami duduk di bangku keals XII, ya, masa-masa sulit yang penuh rasa mencekam, karena kami harus siap menghadapi eksekusi soal-soal ujian nasional.
Di jenjang kelas XII, aku, Ida, Astri dan Muminah duduk dalam satu kelas, sedangkan Irene berada di kelas sebelah. Pada suatu hari, kelas kami mengalami bencana dahsyat, ya, bencana itu bernama “Folio.” Becana itu datang ketika di kelasku sedang berlangsung apalagi kalau pelajaran matematika yang diampu oleh guru “master” kami, bu Rini. “Ayo, sekarang dikeluarkan semua tugas yang kemarin, seperti biasa ya, semua maju giliran, dari ujung kanan depan sampai ujung kiri belakang, nanti dicocokin smua jawabannya,” kata bu Rini dengan suara lantang. “Siap bu,” jawab kami para murid. “Sambil mencocokkan jawaban yang ditulis teman kalian di papan tulis, nanti saya akan keliling, saya mau lihat kerjaan kalian semua,” tutur bu Rini. “Awas saja, kalau sampai ketahuan ada yang nggag ngerjakan, tahu kan apa yang akan terjadi?” Lanjut bu Rini. “Iya bu, kami tahu,” jawab kami dengan cemas. Guru kami ini sungguh membuat kami ketakutan, tiada hari tanpa “was-was” jika ada pelajaran matematika. Gambaran angka-angka seperti gambaran pocong, kuntilanak, atau bahkan drakula, yang siap mengejar dan memangsa darah kami. Deretan angka-angka dengan diikuti istilah-istilah “limit” atau yang di depan angkanya ada tulisan “sin” dan “cos” sungguh benar-benar membuat kami hampir gila. Belum lagi kelompok “Integral” dan “Differensiasi” yang seolah menjadi “zombie” dan siap melahap otak kami. Benar-benar sekumpulan “dedemit” jahat, seperti itulah bayangan kami pada saat itu.
Sampai pada saatnya, semua teman kami maju bergiliran satu per satu dan menuliskan jawabannya di papan tulis, urutan nomornya sesuai dengan urutan tempat duduk kami. Bagi yang mendapat bagian soal-soal ekstrim, terlihat kecemasan amat sangat di wajah mereka, tangan dan leher berkeringat, dahi berkerut, dan wajahnya berkilau akibat keluar banyak minyak, benar-benar terlihat payah. Saat tiba giliran kawan kami yang bernama Rony maju dan mengambil spidol, perhatian kami benar-benar tertuju padanya, karena dia kebagian soal yang benar-benar ruwet, karena hampir sebagian kami menjawab soal itu dengan cara asal-asalan, yang penting kami dapat jawaban sesuai dengan pilihan ganda yang disediakan. Rony mulai menuliskan soal dan benar saja, tangan Rony berkeringat, kakinya gemetaran, seperti seorang tentara di medan perang yang kehabisan amunisi dan “ditodong” senjata laras panjang tepat di kepalanya. Rony cukup lama berdiri, sampai-sampai tidak terasa bahwa dia telah dilewati banyak teman-teman lain yang mendapat giliran, sampai pada akhirnya. “Ya, bagaimana? Sejauh ini, jawaban kalian dengan yang dIrenerjakan teman di papan tulis? Sama kan?” Tanya bu Rini sambil berkeliling. “Iya, sama bu,” jawab kami kompak. “Sampai nomor 20 berhenti dulu, kayaknya papan tulisnya nggag cukup, kita cocokkan bareng dulu ya.” Lanjut bu Rini lagi.
Waktu berlalu, hingga giliran teman kami yang dapat soal nomor 20 telah selesai menuliskan soal dan jawabannya di papan tulis. Terlihat Rony yang masih saja mengerjakan soal ruwet nomor 15, berkali-kali Ia menggaruk-garuk kepalanya, mengelap keringat di keningnya, dan sesekali mengkibas-kibaskan buku tugasnya ke leher, akibat rasa panas yang timbul karena cemas. Nasibnya sungguh merana, saat-saat seperti ini, hanyalah Tuhan yang dapat menolongnya. “Sudah ya, semuanya, mari kita cocokkan, mulai dari nomor satu,” kata bu Rini. Satu per satu soal dicocokkan, dan kami lega, karena jawaban yang tertulis dan cara yang digunakan sudah cocok, namun tiba giliran soal ruwet nomor 15, kami semua menelan ludah, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang terjadi akibat Rony yang belum selesai mengerjakan soal di papan tulis. “Lho Rony, kamu itu dari tadi kok belum selesai sih?” Tanya bu Rini dengan tegas, “Se…se..sebentar bu,” jawab Rony ketakutan. “Udah, duduk aja dulu kamu, sana, kelamaan, nanti nggag selesai-selesai ini bahas soalnya,” tutur bu Rini dengan tegas. “I..Iya bu,” jawab Rony tegang. Soal ruwet itu akhirnya dilewati hingga kami selesai membahas nomor 20. “Nah, baiklah, sekarang mari kita bahas nomor 15,”kata bu Rini. Sebelum dibahas, bu Rini mengamati cara yang digunakan Rony untuk mengerjakan soal. Kening bu Rini mulai berkerut, hal ini menjadi pertanda buruk bagi kami. Kerutan di kening itu seperti alarm tanda bencana “Tsunami” yang memberi sinyal dan memerintahkan kami agar mengevakuasi diri, lari dengan kencang dan menjauh mencari tempat yang lebih tinggi.
“Salah! Ini caranya salah! Ayo siapa yang mau membetulkan?” Tanya bu Rini. Kami satu kelas saling memandang satu sama lain, tengok kiri-kanan-depan-belakang, siapa bocah handal yang bisa mengerjakan soal ruwet ini. Pandangan kami semua lalu tertuju pada salah satu anggota kelompok belajar Sejalan, ya, siapa lagi kalau bukan Astri, si jagoan matematika. Akhirnya si Astri mengalah, Dia maju untuk mewakili kami satu kelas. Astri maju dengan perlahan, mengambil spidol, dan mulai menuliskan cara yang Ia gunakan, namun ada sesuatu yang aneh dari Astri saat itu, tatapannya kosong, seperti orang yang kesurupan, langkahnya juga tidak mantap, tidak terlihat seperti biasanya. Perlahan dia menuliskan jawabannya, dan akhirnya selesai. Astri duduk kembali ke bangkunya, bu Rini, kemudian mengamati jawaban Astri secara cermat. Bu Rini lalu tersenyum masam, dan mengatakan “Caranya masih salah, jadi, meskipun jawabannya ada di pilihan ganda, itu jawaban yang salah.” “Plaaak!!” Aku menepuk jidat, sang pendekar kami pun gugur juga, ini benar-benar bencana. “Seperti biasa, sesuai kesepakatan kita, Folio, 50 soal sejenis,” kata bu Rini sambil tersenyum masam. “Perhatikan cara yang saya ajarkan, catat dengan baik, lihat langkahnya dan ingat baik-baik,” lanjut bu Rini.
Setelah selesai memberikan penjelasan kepada kami, bu Rini duduk, dan tak lama setelah itu, “Teeeet, teeeet!!” Bel tanda pulang telah berbunyi, akhirnya jam pelajaran tambahan matematika telah selesai. Bunyi bel itu menjadi penyelamat kami. “Baiklah, besok lagi kita lanjutkan, ingat ya, besok folionya dikumpulkan, nanti saya lihat satu per satu, cukup sekian, selamat sore,” tutup bu Rini.”Selamat sore bu,” jawab kami dengan kompak. Semua murid langsung membereskan semua buku dan barang-barang lalu bergegas pulang, namun tidak dengan kami para anggota kelompok Sejalan, kami bersiap-siap kumpul untuk membahas soal tadi, bencana tadi menjadi sinyal bagi kami untuk berdiskusi sebelum pulang. 
“Gimana ini Trid, pusing aku, masih nggag paham aku,” keluhku gelisah.”Iya, bentar, nanti aku kasih tahu caranya sampai paham,” jawabnya dengan tenang. Bagaimana bisa tenang, dengan banyaknya soal sejenis yang diberikan dan cara mengerjakan yang aku masih belum paham. Ini sungguh celaka, tapi hebatnya, jagoan matematika kami masih bisa tenang dan terus dengan sabar memberi kami pengarahan untuk mengerjakan secara perlahan. Senja pun mulai datang, sang surya sudah mulai memindahkan cahayanya, pertanda kami harus segera pulang.
Malam itu, kami satu kelas, harus benar-benar lembur untuk menyelesaikan tugas folio bu Rini, aku, yang masih suka bingung dengan beberapa soal yang sebenarnya sejenis tak henti-hentinya terus menghubungi Astri lewat SMS atau sesekali menelepon.
Esok paginya, aku cukup lega, karena tugasku sudah kuselesaikan secara sempurna, berkat bantuan Astri tentunya, tapi aku jadi paham, jadi aku puas. Tujuan dari tugas ini sebenarnya baik, yakni agar kami terlatih dengan soal-soal yang bervariasi, meskipun soal itu sebenarnya sejenis, ini sungguh sebuah strategi yang jitu namun melelahkan. Ujian Nasional benar-benar menjadi sebuah ancaman bagi kami, bagaimana tidak, kerja keras, hidup dan muka kami pertaruhkan semua, kalau sampai tidak lulus, bisa terbayangkan betapa hancurnya diri ini.
Tapi, kami tetap yakin dan percaya, bahwa kelompok bekajar kami yang solid dan kompak akan terus mempersiapkan “skill” untuk menerjang ujian nasional nanti. Setiap ada waktu luang kami manfaatkan dengan baik, untuk membahas soal-soal, tak hanya itu, aku yang waktu itu sangat khawatir akan ujian nasional yang akan aku hadapi, aku juga ikut bimbel ternama dengan rumus singkatnya, benar-benar usaha yang berlapis.
Sesekali, aku juga memberikan tips atau rumus-rumus singkat kepada Astri, sehingga dapat dipadukan dengan cara yang digunakannya, selain hasilnya akurat, waktu yang digunakan untuk mengerjakan soal juga akan menjadi lebih singkat, perpaduan yang sungguh ekstra. Tak hanya matematika, berbagai pelajaran ilmu eksak yang membuat dada kami sering sesak, juga sering kami bahas bersama. Fisika, Kimia juga selalu menghiasi hari-hari kami menjelang ujian nasional. Irene dan Ida, seorang fisikawati dan kimiawati sejati, juga tak henti-hentinya selalu membimbing kami yang kesulitan.
Menjelang mendekati hari ujian, sekolah kami mengadakan do’a bersama, ya sebuah pemandangan rutin di seluruh sekolah di negeri ini, Setiap harap dan do’a yang kami panjatkan membuat kami selalu meneteskan air mata, belum lagi apabila sang kyai pemimpin do’a berkali-kali mengingatkan atas dosa akibat tingkah laku kami yang labil karena menginjak remaja, mengingatkan atas sikap dan tingkah bodoh kami kepada orang tua, membuat teman-teman kami tumbang satu per satu di ruang do’a.
Keringat bercucuran, diikuti air mata yang mengalir deras, memanjatkan do’a dengan khidmad dengan satu tujuan, yaitu mendapat predikat “Lulus Ujian Nasional.” Benar-benar situasi yang mengharukan, juga memilukan. Betapa hebatnya dampak dari menyambut ujian nasional yang telah kami rasakan, sungguh menakjubkan.
Waktu penentuan akhirnya tiba, ujian nasional yang selama ini kami persiapkan, kedatangannya akhirnya menghampiri kami begitu cepatnya. Ujian nasional kami kabarnya adalah ujian nasional model terbaru, ya, dalam satu ruang ujian terdapat dua buah model soal yang berbeda, sehingga kemungkinan adanya kecurangan antar peserta dapat diminimalisir. Apabila peserta benar-benar nekat, ia harus bekerja sama dengan teman seberangnya yang terpisah oleh satu peserta lain dengan tipe soal yang berbeda, ya, karena soal akan dibagikan secara “selang-seling.”
Terlihat kecemasan di wajah teman-temanku, rasa ketakutan menghampiri mereka bagaikan sekumpulan terpidana yang sedang diadili. Ada yang duduk dengan tenang, ada pula yang duduk dengan tegang, sesekali tangan berkeringat, sesekali dahi berkerut, rona wajah kecemasan begitu banyak yang terlihat. Meskipun begitu, kami yakin, optimis, dan harapan kami pasti terwujud untuk meraih cita-cita yang gemilang.
Maraknya isu jual-beli kunci jawaban ujian nasional juga sempat menghiasi masa-masa ujian kami, bahkan, salah satu teman satu angkatan kami terkena ranjaunya. Teman kami yang tersandung ranjau kunci ujian adalah Ranti, saat malam hari menjelang ujian nasional mata pelajaran Bahasa Inggris, ia mendapatkan pesan singkat yang berisi pesan meyakinkan bahwa yang tertulis itu merupakan kunci jawaban ujian nasional mata pelajaran Bahasa Inggris untuk tipe soal-B. Pesan itu ia dapatkan dari seorang kenalan murid SMA lain yang mengaku telah membeli kunci jawaban ujian nasional yang sedang berlangsung.
Sayangnya, pengaruh setan sangat besar terhadap Ranti, sehingga ia ragu akan kemampuannya sendiri untuk menjawab soal-soal ujian. Ujian Bahasa Inggris, bagi kami adalah Ujian Bahasa Siluman, bagaimana tidak, pilihan jawaban dari soal-soal yang disediakan sangatlah mirip satu sama lain, diperlukan konsentrasi tinggi dan kemampuan analisis soal yang tepat. Pendalaman sastra, memahami pokok-pokok kalimat dalam sebuah paragraf, memaknai dan menelaah grammar sama hal nya seperti melangkah di medan ranjau bagi kami, dan hebatnya lagi, pilihan jawaban yang disediakan hampir 80% mirip, meleset sedikit saja, tamatlah sudah masa depan kami.
Itulah yang membuat Ranti tidak percaya diri, akhirnya ia pasrahkan semuanya kepada kunci jawaban yang telah ia dapatkan. Pada akhirnya, ia harus menerima penyesalan atas perbuatannya, nilai Ujian Bahasa Inggris milik Ranti tidak dapat mencapai batas standar nilai ujian nasional. Hal menyebabkan dirinya harus menerima predikat “Tidak Lulus.” Namun, ada pengumuman dari dinas pendidikan saat itu, bahwa masih ada ksempatan untuk ujian ulang, hingga Ranti akhirnya mendapatkan predikat “Lulus,” Alhamdulillah.
Sungguh kejadian yang memilukan bagi angkatan kami, namun ada hikmah dari kejadian ini, yaitu bahwa kita harus percaya diri dalam menghadapi berbagai persoalan, begitu juga sikap kejujuran yang harus kita junjung dan kita jaga, karena percaya diri yang dilengkapi dengan semangat kejujuran akan berujung pada kesuksesan. Cukup tentang kisah Ranti yang singkat, mari berlanjut lagi ke kisah para anggota “Sejalan.”
Anggota Sejalan semuanya telah siap, yakin namun tetap pasrah kepada Tuhan, kami hanya berharap jerih payah kami selama ini terbayar dengan hasil ujian nasional yang memuaskan. Astri dan Ida berencana menjadi guru, aku berencana menjadi doter, Irene, berencana menjada kimiawati handal, dan Muminah, tentu saja, ia bercita-cita menjadi ibu yang baik bagi keluarganya kelak, rencana awalnya, ia ingin mencari pengalaman betapa susahnya mengais rezeki.
Setelah ujian kami lalui, kecemasan menunggu detik-detik kelulusan tak terasa tinggal sehari. “Astri, kira-kira, nilai matematika kamu kemarin dapat berapa?” Tanyaku penasaran, “Seratus,” jawab Astri penuh percaya diri. “Kalau ternyata nggag dapet seratus dan nilaiku lebih tinggi dari kamu gimana?” Tanyaku dengan nada menantang. “Aku rela lari lapangan basket 20 kali, tapi kalau sampai aku yang dapat seratus, kamu wajib beliin aku es krim lapis coklat di toko seberang, sampai aku kenyang…” jawabnya dengan yakin dan menantang balik. “Deal,” jawabku sepakat. Dan ternyata, aku kalah, nilai ujian matematikanya benar-benar 100, sedangkan aku hanya 97.
Tak hanya sampai di situ, dia bahkan dinobatkan jadi peserta ujian dengan nilai terbaik selangit. “Aduuuuuh… kalaaaah…..” Keluhku. Astri tersenyum jahat, dia memandangku seperti pembunuh berdarah dingin yang siap menusukku kapan saja, akhirnya, aku traktir es krim, sampai dia puas. “Eh, kalian mau kemana?” Tanya Irene dan anggota Sejalan yang kebetulan melihat kami. “Hehehe, sini gabung, kita bakalan ditraktir Putra nih, dia kalah taruhan nilai matematika, aku bakalah ditraktir sampai puas,” kata Astri mengejek. “Eeeh, aku kan janjinya cuma buat Astri,” jawabku. “Kan kamu bilangnya sampai aku puas… aku udah puas kalo temen-temen kita ini ikutan makan, hehehehe…” Ejek Astri lagi. “Ya udah deh, sini.. gabung semua..” jawabku. “Asyiiik,” teriak anggota Sejalan Sejalan kegirangan.
Pada akhirnya kami mulai berjuang masing-masing, Irene akhirnya kuliah di akademi farmasi dan menjadi seorang apoteker dan kini dia bekerja di RS ternama di kota. Ida, akhirnya dia kuliah di salah satu universitas negeri favorit dengan jurusan teknik kimia, aneh memang, padahal bakatnya adalah fisika, terserahlah, yang penting dia enjoy, kini dia sedang melanjutkan sekolah S2 nya, benar-benar hebat. Muminah, kini dia bekerja di bagian pemasaran sebuah perusahaan teh terkenal, hingga kini, dia masih menuggu pangeran sejatinya.
Aku kini menjadi seorang tenaga penunjang kesehatan, ya, melenceng sedikit dari cita-cita ingin menjadi dokter, tapi, sama-sama kerja di rumah sakit, tak apa. Sedangkan Astri, kini dia bekerja di salah satu perusahaan penyedia layanan jasa komunikasi. Ia kini bekerja sambil kuliah. Dia kuliah di jurusan Ilmu Telekomunikasi, targetnya, menjadi seorang konsultan IT terbaik di negeri ini, ya, agak sedikit teralih memang dari cita-cita awalnya menjadi guru, tapi kami yakin dan percaya, jerih payah kami akan terbayar nantinya. Itulah sedikit goresan kisah kami “Sejalan”mencapai mimpi.



Tidak ada komentar: