Intro:
Ini adalah cerita yang terinspirasi dari perjalanan sebuah kelompok pelajar SMA, ada sedikit kisah nyata, ada sedikit rangkaian jalan cerita di luar kisah nyata. Tulisan ini saya buat beberapa waktu setelah saya lulus Ujian Nasional dan sempat saya ikutkan kompetisi Cerpen, sekarang saya bagi agar semua bisa menikmati dan diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Cerpen ini memang saya tujukan untuk golongan pembaca dari Siswa-Siswi SMA (yang suka sastra tentunya).
Semoga menghibur dan Selamat Membaca....
Kisah Selengkapnya :
Ini adalah cerita yang terinspirasi dari perjalanan sebuah kelompok pelajar SMA, ada sedikit kisah nyata, ada sedikit rangkaian jalan cerita di luar kisah nyata. Tulisan ini saya buat beberapa waktu setelah saya lulus Ujian Nasional dan sempat saya ikutkan kompetisi Cerpen, sekarang saya bagi agar semua bisa menikmati dan diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Cerpen ini memang saya tujukan untuk golongan pembaca dari Siswa-Siswi SMA (yang suka sastra tentunya).
Semoga menghibur dan Selamat Membaca....
Kisah Selengkapnya :
Mari
kubagi kisah perjalanan yang penuh dengan nuansa, sebuah perjalanan tentang
impian untuk meraih asa yang cemerlang. Perjalanan ini aku mulai saja dari
kisahku ketika beranjak SMA. Siapa yang tak suka dengan masa-masa SMA? Sebuah
puncak dari kegembiraan seorang remaja, mengekspresikan diri, mencari jati
dirinya selayak menggali tambang untuk menemukan mutiara terpendam. Bukan cuma
itu, keinginan mengungkapkan rasa dan cinta yang menggelora juga akan menjadi
romansa terindah yang pernah dialami umat manusia, ya, dimana lagi kalau bukan
di masa SMA.
Kalau
ada yang bilang persahabatan itu seperti kepompong, istilah itu tidak berarti
bagiku dan kelompok belajarku, mengapa? Karena persahabatan kami terbentuk dari
kelompok belajar yang bernama “Sejalan.”
(Serikat Siswa-Siswi Seberang Jalan) Sebuah nama
yang konyol, bahkan mungkin tak berbobot bagi siapa yang mendengarnya. Kelompok
belajar ini terbentuk secara tak sengaja. Kelompok ini terdiri dari
perserikatan siswa-siswi SMP seberang jalan, karena kelompok ini memang sekolah
asalnya adalah SMP yang lokasinya ada di seberang SMA kami saat ini. Aku
bersama keempat kawan cantikku semuanya adalah alumni SMP seberang jalan.
Di
dalam kelompok ini, aku-lah yang paling tampan, tak perlu diragukan lagi,
keempat anggota yang lain antara lain bernama Irene, Astri, Ida, Muminah, jelas
sudah bukan? Aku-lah di sini yang paling tampan. Setiap anggota memiliki
keahlian masing-masing dalam pelajaran. Irene, si doktor kimia handal yang siap
melibas semua soal-soal kimia yang hampir membuat kami jadi gila. Astri, si
ratu matematika, yang selalu cepat dan tepat menghadapi soal-soal ruwet dengan
berbagai langkah serta rumus singkat. Ida, seorang fisikawati “kecil” yang
siap melahap soal-soal sains dengan gaya berpikir logika selangit. Aku, si
tampan penuh kasih sayang kepada alam, yang mampu bertahan dan memahami
kehidupan insani dalam biologi. Terakhir si Muminah, dia ahli dalam urusan menjalani hidup. Ya,
Muminah adalah tempat kami
mencurahkan dan menanyakan persoalan-persoalan yang sulit kami pecahkan dalam
kehidupan, terutama masalah cinta dan kasih sayang.
Lengkap
sudah kelompok belajar kami ini, kami ini berbeda dengan “komplotan” atau
“geng” yang biasa dibentuk oleh anak-anak SMA, karena kami berkumpul hanya
benar-benar untuk belajar, diantara kami juga tidak ada yang terlibat cinta
lokasi sesama anggota, juga tidak ada yang berpenampilan aneh-aneh seperti baju
seragam yang ketat, atau terjulur keluar agar terlihat “keren.” Tak hanya itu,
kami juga tidak menggunakan aksesoris yang mencolok, kalaupun memakai
aksesoris, itu biasanya hanya sebatas jam tangan. Jadi kelompok belajar kami
ini, murni kelompok belajar, bukan seperti kelompok anak SMA yang ada di
sinetron-sinetron layar kaca.
Yang
kami bahas juga bukan masalah “tempat nongkrong, model baju atau aksesoris
terbaru,” yang kami bahas, benar-benar murni masalah pelajaran yang membuat
kami hampir gila. Kami tidak memiliki waktu khusus untuk berkumpul, intinya
kalau ada kesulitan belajar, semua dihubungi, jadi kami semua bisa berdiskusi,
yang paling pertama dihubungi adalah “sang master” dari pelajaran yang akan
dibahas. Kejadian paling parah yang pernah dialami kami adalah ketika kami
duduk di bangku keals XII, ya, masa-masa sulit yang penuh rasa mencekam, karena
kami harus siap menghadapi eksekusi soal-soal ujian nasional.
Di jenjang kelas XII, aku, Ida, Astri dan Muminah
duduk dalam satu kelas, sedangkan Irene berada di kelas sebelah. Pada suatu
hari, kelas kami mengalami bencana dahsyat, ya, bencana itu bernama “Folio.”
Becana itu datang ketika di kelasku sedang berlangsung apalagi kalau pelajaran
matematika yang diampu oleh guru “master” kami, bu Rini. “Ayo, sekarang dikeluarkan
semua tugas yang kemarin, seperti biasa ya, semua maju giliran, dari ujung
kanan depan sampai ujung kiri belakang, nanti dicocokin smua jawabannya,” kata
bu Rini dengan suara lantang. “Siap bu,” jawab kami para murid. “Sambil
mencocokkan jawaban yang ditulis teman kalian di papan tulis, nanti saya akan
keliling, saya mau lihat kerjaan kalian semua,” tutur bu Rini. “Awas saja,
kalau sampai ketahuan ada yang nggag ngerjakan, tahu kan apa yang akan terjadi?”
Lanjut bu Rini. “Iya bu, kami tahu,” jawab kami dengan cemas. Guru kami ini
sungguh membuat kami ketakutan, tiada hari tanpa “was-was” jika ada pelajaran
matematika. Gambaran angka-angka seperti gambaran pocong, kuntilanak, atau
bahkan drakula, yang siap mengejar dan memangsa darah kami. Deretan angka-angka
dengan diikuti istilah-istilah “limit” atau yang di depan angkanya ada tulisan
“sin” dan “cos” sungguh benar-benar membuat kami hampir gila. Belum lagi
kelompok “Integral” dan “Differensiasi” yang seolah menjadi “zombie” dan siap
melahap otak kami. Benar-benar sekumpulan “dedemit” jahat, seperti itulah
bayangan kami pada saat itu.
Sampai
pada saatnya, semua teman kami maju bergiliran satu per satu dan menuliskan
jawabannya di papan tulis, urutan nomornya sesuai dengan urutan tempat duduk
kami. Bagi yang mendapat bagian soal-soal ekstrim, terlihat kecemasan amat
sangat di wajah mereka, tangan dan leher berkeringat, dahi berkerut, dan
wajahnya berkilau akibat keluar banyak minyak, benar-benar terlihat payah. Saat
tiba giliran kawan kami yang bernama Rony maju dan mengambil spidol, perhatian
kami benar-benar tertuju padanya, karena dia kebagian soal yang benar-benar
ruwet, karena hampir sebagian kami menjawab soal itu dengan cara asal-asalan,
yang penting kami dapat jawaban sesuai dengan pilihan ganda yang disediakan. Rony
mulai menuliskan soal dan benar saja, tangan Rony berkeringat, kakinya
gemetaran, seperti seorang tentara di medan perang yang kehabisan amunisi dan
“ditodong” senjata laras panjang tepat di kepalanya. Rony cukup lama berdiri,
sampai-sampai tidak terasa bahwa dia telah dilewati banyak teman-teman lain
yang mendapat giliran, sampai pada akhirnya. “Ya, bagaimana? Sejauh ini,
jawaban kalian dengan yang dIrenerjakan teman di papan tulis? Sama kan?” Tanya
bu Rini sambil berkeliling. “Iya, sama bu,” jawab kami kompak. “Sampai nomor 20
berhenti dulu, kayaknya papan tulisnya nggag cukup, kita cocokkan bareng dulu
ya.” Lanjut bu Rini lagi.
Waktu
berlalu, hingga giliran teman kami yang dapat soal nomor 20 telah selesai
menuliskan soal dan jawabannya di papan tulis. Terlihat Rony yang masih saja
mengerjakan soal ruwet nomor 15, berkali-kali Ia menggaruk-garuk kepalanya,
mengelap keringat di keningnya, dan sesekali mengkibas-kibaskan buku tugasnya
ke leher, akibat rasa panas yang timbul karena cemas. Nasibnya sungguh merana,
saat-saat seperti ini, hanyalah Tuhan yang dapat menolongnya. “Sudah ya,
semuanya, mari kita cocokkan, mulai dari nomor satu,” kata bu Rini. Satu per
satu soal dicocokkan, dan kami lega, karena jawaban yang tertulis dan cara yang
digunakan sudah cocok, namun tiba giliran soal ruwet nomor 15, kami semua
menelan ludah, bersiap dengan kemungkinan terburuk yang terjadi akibat Rony
yang belum selesai mengerjakan soal di papan tulis. “Lho Rony, kamu itu dari
tadi kok belum selesai sih?” Tanya bu Rini dengan tegas, “Se…se..sebentar bu,”
jawab Rony ketakutan. “Udah, duduk aja dulu kamu, sana, kelamaan, nanti nggag
selesai-selesai ini bahas soalnya,” tutur bu Rini dengan tegas. “I..Iya bu,”
jawab Rony tegang. Soal ruwet itu akhirnya dilewati hingga kami selesai
membahas nomor 20. “Nah, baiklah, sekarang mari kita bahas nomor 15,”kata bu Rini.
Sebelum dibahas, bu Rini mengamati cara yang digunakan Rony untuk mengerjakan
soal. Kening bu Rini mulai berkerut, hal ini menjadi pertanda buruk bagi kami. Kerutan
di kening itu seperti alarm tanda bencana “Tsunami” yang memberi sinyal dan
memerintahkan kami agar mengevakuasi diri, lari dengan kencang dan menjauh
mencari tempat yang lebih tinggi.
“Salah!
Ini caranya salah! Ayo siapa yang mau membetulkan?” Tanya bu Rini. Kami satu
kelas saling memandang satu sama lain, tengok kiri-kanan-depan-belakang, siapa
bocah handal yang bisa mengerjakan soal ruwet ini. Pandangan kami semua lalu
tertuju pada salah satu anggota kelompok belajar Sejalan, ya, siapa lagi kalau
bukan Astri, si jagoan matematika. Akhirnya si Astri mengalah, Dia maju untuk
mewakili kami satu kelas. Astri maju dengan perlahan, mengambil spidol, dan
mulai menuliskan cara yang Ia gunakan, namun ada sesuatu yang aneh dari Astri
saat itu, tatapannya kosong, seperti orang yang kesurupan, langkahnya juga
tidak mantap, tidak terlihat seperti biasanya. Perlahan dia menuliskan
jawabannya, dan akhirnya selesai. Astri duduk kembali ke bangkunya, bu Rini,
kemudian mengamati jawaban Astri secara cermat. Bu Rini lalu tersenyum masam,
dan mengatakan “Caranya masih salah, jadi, meskipun jawabannya ada di pilihan
ganda, itu jawaban yang salah.” “Plaaak!!” Aku menepuk jidat, sang pendekar
kami pun gugur juga, ini benar-benar bencana. “Seperti biasa, sesuai
kesepakatan kita, Folio, 50 soal sejenis,” kata bu Rini sambil tersenyum masam.
“Perhatikan cara yang saya ajarkan, catat dengan baik, lihat langkahnya dan
ingat baik-baik,” lanjut bu Rini.
Setelah
selesai memberikan penjelasan kepada kami, bu Rini duduk, dan tak lama setelah
itu, “Teeeet, teeeet!!” Bel tanda pulang telah berbunyi, akhirnya jam pelajaran
tambahan matematika telah selesai. Bunyi bel itu menjadi penyelamat kami.
“Baiklah, besok lagi kita lanjutkan, ingat ya, besok folionya dikumpulkan,
nanti saya lihat satu per satu, cukup sekian, selamat sore,” tutup bu Rini.”Selamat
sore bu,” jawab kami dengan kompak. Semua murid langsung membereskan semua buku
dan barang-barang lalu bergegas pulang, namun tidak dengan kami para anggota
kelompok Sejalan, kami bersiap-siap kumpul untuk membahas soal tadi, bencana
tadi menjadi sinyal bagi kami untuk berdiskusi sebelum pulang.
“Gimana
ini Trid, pusing aku, masih nggag paham aku,” keluhku gelisah.”Iya, bentar,
nanti aku kasih tahu caranya sampai paham,” jawabnya dengan tenang. Bagaimana
bisa tenang, dengan banyaknya soal sejenis yang diberikan dan cara mengerjakan
yang aku masih belum paham. Ini sungguh celaka, tapi hebatnya, jagoan
matematika kami masih bisa tenang dan terus dengan sabar memberi kami
pengarahan untuk mengerjakan secara perlahan. Senja pun mulai datang, sang
surya sudah mulai memindahkan cahayanya, pertanda kami harus segera pulang.
Malam
itu, kami satu kelas, harus benar-benar lembur untuk menyelesaikan tugas folio
bu Rini, aku, yang masih suka bingung dengan beberapa soal yang sebenarnya
sejenis tak henti-hentinya terus menghubungi Astri lewat SMS atau sesekali
menelepon.
Esok
paginya, aku cukup lega, karena tugasku sudah kuselesaikan secara sempurna,
berkat bantuan Astri tentunya, tapi aku jadi paham, jadi aku puas. Tujuan dari
tugas ini sebenarnya baik, yakni agar kami terlatih dengan soal-soal yang
bervariasi, meskipun soal itu sebenarnya sejenis, ini sungguh sebuah strategi
yang jitu namun melelahkan. Ujian Nasional benar-benar menjadi sebuah ancaman
bagi kami, bagaimana tidak, kerja keras, hidup dan muka kami pertaruhkan semua,
kalau sampai tidak lulus, bisa terbayangkan betapa hancurnya diri ini.
Tapi,
kami tetap yakin dan percaya, bahwa kelompok bekajar kami yang solid dan kompak
akan terus mempersiapkan “skill” untuk
menerjang ujian nasional nanti. Setiap ada waktu luang kami manfaatkan dengan
baik, untuk membahas soal-soal, tak hanya itu, aku yang waktu itu sangat
khawatir akan ujian nasional yang akan aku hadapi, aku juga ikut bimbel ternama
dengan rumus singkatnya, benar-benar usaha yang berlapis.
Sesekali,
aku juga memberikan tips atau rumus-rumus singkat kepada Astri, sehingga dapat
dipadukan dengan cara yang digunakannya, selain hasilnya akurat, waktu yang
digunakan untuk mengerjakan soal juga akan menjadi lebih singkat, perpaduan
yang sungguh ekstra. Tak hanya matematika, berbagai pelajaran ilmu eksak yang
membuat dada kami sering sesak, juga sering kami bahas bersama. Fisika, Kimia juga
selalu menghiasi hari-hari kami menjelang ujian nasional. Irene dan Ida,
seorang fisikawati dan kimiawati sejati, juga tak henti-hentinya selalu
membimbing kami yang kesulitan.
Menjelang
mendekati hari ujian, sekolah kami mengadakan do’a bersama, ya sebuah
pemandangan rutin di seluruh sekolah di negeri ini, Setiap harap dan do’a yang
kami panjatkan membuat kami selalu meneteskan air mata, belum lagi apabila sang
kyai pemimpin do’a
berkali-kali mengingatkan atas dosa akibat tingkah laku kami yang labil karena
menginjak remaja, mengingatkan atas sikap dan tingkah bodoh kami kepada orang
tua, membuat teman-teman kami tumbang satu per satu di ruang do’a.
Keringat
bercucuran, diikuti air mata yang mengalir deras, memanjatkan do’a dengan
khidmad dengan satu tujuan, yaitu mendapat predikat “Lulus Ujian Nasional.”
Benar-benar situasi yang mengharukan, juga memilukan. Betapa hebatnya dampak
dari menyambut ujian nasional yang telah kami rasakan, sungguh menakjubkan.
Waktu
penentuan akhirnya tiba, ujian nasional yang selama ini kami persiapkan,
kedatangannya akhirnya menghampiri kami begitu cepatnya. Ujian nasional kami
kabarnya adalah
ujian nasional model terbaru, ya, dalam satu ruang ujian terdapat dua buah
model soal yang berbeda, sehingga kemungkinan adanya kecurangan antar peserta
dapat diminimalisir. Apabila peserta benar-benar nekat, ia harus bekerja sama dengan
teman seberangnya yang terpisah oleh satu peserta lain dengan tipe soal yang
berbeda, ya, karena soal akan dibagikan secara “selang-seling.”
Terlihat
kecemasan di wajah
teman-temanku, rasa ketakutan menghampiri mereka bagaikan sekumpulan terpidana
yang sedang diadili.
Ada yang duduk dengan tenang, ada pula
yang duduk dengan tegang, sesekali tangan berkeringat, sesekali dahi berkerut,
rona wajah kecemasan begitu banyak yang terlihat. Meskipun begitu, kami yakin,
optimis, dan harapan kami pasti terwujud untuk meraih cita-cita yang gemilang.
Maraknya
isu jual-beli kunci jawaban ujian nasional juga sempat menghiasi masa-masa
ujian kami, bahkan, salah satu teman satu angkatan kami terkena ranjaunya.
Teman kami yang tersandung ranjau kunci ujian adalah Ranti, saat malam hari
menjelang ujian nasional mata pelajaran Bahasa Inggris, ia mendapatkan pesan singkat yang
berisi pesan meyakinkan bahwa yang tertulis itu merupakan kunci jawaban ujian
nasional mata pelajaran Bahasa Inggris
untuk tipe soal-B. Pesan itu ia dapatkan dari seorang kenalan murid SMA lain
yang mengaku telah membeli kunci jawaban ujian nasional yang sedang
berlangsung.
Sayangnya,
pengaruh setan sangat besar terhadap Ranti, sehingga ia ragu akan kemampuannya
sendiri untuk menjawab soal-soal ujian. Ujian Bahasa Inggris, bagi kami adalah
Ujian Bahasa Siluman, bagaimana tidak, pilihan jawaban dari soal-soal yang
disediakan sangatlah
mirip satu sama lain, diperlukan konsentrasi tinggi dan kemampuan analisis soal
yang tepat. Pendalaman sastra, memahami pokok-pokok kalimat dalam sebuah
paragraf, memaknai dan menelaah grammar sama hal nya seperti melangkah di medan ranjau bagi kami,
dan hebatnya lagi, pilihan jawaban yang disediakan hampir 80% mirip, meleset
sedikit saja, tamatlah sudah masa depan kami.
Itulah
yang membuat Ranti tidak percaya diri, akhirnya ia pasrahkan semuanya kepada
kunci jawaban yang telah ia dapatkan. Pada akhirnya, ia harus menerima
penyesalan atas perbuatannya, nilai Ujian Bahasa Inggris milik Ranti tidak
dapat mencapai batas standar nilai ujian nasional. Hal menyebabkan dirinya
harus menerima predikat “Tidak Lulus.”
Namun, ada pengumuman dari dinas pendidikan saat itu, bahwa masih ada ksempatan
untuk ujian ulang, hingga Ranti akhirnya mendapatkan predikat “Lulus,”
Alhamdulillah.
Sungguh
kejadian yang memilukan bagi angkatan kami, namun ada hikmah dari kejadian ini,
yaitu bahwa kita harus percaya diri dalam menghadapi berbagai persoalan, begitu
juga sikap kejujuran yang harus kita junjung dan kita jaga, karena percaya diri
yang dilengkapi dengan semangat kejujuran akan berujung pada kesuksesan. Cukup
tentang kisah Ranti yang singkat, mari berlanjut lagi ke kisah para anggota “Sejalan.”
Anggota
Sejalan semuanya telah siap, yakin namun tetap pasrah kepada Tuhan, kami hanya
berharap jerih payah kami selama ini terbayar dengan hasil ujian nasional yang
memuaskan. Astri dan Ida berencana menjadi guru, aku berencana menjadi doter, Irene,
berencana menjada kimiawati handal, dan Muminah, tentu saja, ia bercita-cita
menjadi ibu yang baik bagi keluarganya kelak, rencana awalnya, ia ingin mencari
pengalaman betapa susahnya mengais rezeki.
Setelah
ujian kami lalui, kecemasan menunggu detik-detik kelulusan tak terasa tinggal
sehari. “Astri, kira-kira, nilai matematika kamu kemarin dapat berapa?” Tanyaku
penasaran, “Seratus,” jawab Astri penuh percaya diri. “Kalau ternyata nggag
dapet seratus dan nilaiku lebih tinggi dari kamu gimana?” Tanyaku dengan nada
menantang. “Aku rela lari lapangan basket 20 kali, tapi kalau sampai aku yang
dapat seratus, kamu wajib beliin aku es krim lapis coklat di toko seberang,
sampai aku kenyang…” jawabnya dengan yakin dan menantang balik. “Deal,” jawabku
sepakat. Dan ternyata, aku kalah, nilai ujian matematikanya benar-benar 100,
sedangkan aku hanya 97.
Tak hanya sampai di situ, dia
bahkan dinobatkan jadi peserta ujian dengan nilai terbaik selangit. “Aduuuuuh…
kalaaaah…..” Keluhku. Astri tersenyum jahat, dia memandangku seperti pembunuh
berdarah dingin yang siap menusukku kapan saja, akhirnya, aku traktir es krim,
sampai dia puas. “Eh, kalian mau kemana?” Tanya Irene dan
anggota Sejalan yang kebetulan melihat kami. “Hehehe, sini gabung, kita bakalan
ditraktir Putra
nih, dia kalah taruhan nilai matematika, aku bakalah ditraktir sampai puas,”
kata Astri mengejek. “Eeeh, aku kan janjinya cuma buat Astri,” jawabku. “Kan
kamu bilangnya sampai aku puas… aku udah puas kalo temen-temen kita ini ikutan
makan, hehehehe…” Ejek Astri lagi. “Ya udah deh, sini.. gabung semua..”
jawabku. “Asyiiik,” teriak anggota Sejalan Sejalan kegirangan.
Pada
akhirnya kami mulai berjuang masing-masing, Irene akhirnya kuliah di akademi
farmasi dan menjadi seorang apoteker dan kini dia bekerja di RS ternama di kota. Ida, akhirnya dia
kuliah di salah satu universitas negeri favorit dengan jurusan teknik kimia,
aneh memang, padahal bakatnya adalah fisika, terserahlah, yang penting dia enjoy,
kini dia sedang melanjutkan sekolah S2 nya, benar-benar hebat. Muminah, kini dia
bekerja di bagian pemasaran sebuah perusahaan teh terkenal, hingga kini, dia
masih menuggu pangeran sejatinya.
Aku
kini menjadi seorang tenaga penunjang
kesehatan, ya, melenceng sedikit dari cita-cita
ingin menjadi dokter, tapi, sama-sama kerja di rumah sakit, tak apa. Sedangkan Astri,
kini dia bekerja di salah satu perusahaan penyedia layanan jasa komunikasi. Ia kini bekerja sambil
kuliah. Dia kuliah di jurusan Ilmu Telekomunikasi, targetnya, menjadi seorang
konsultan IT terbaik di negeri ini, ya, agak sedikit teralih memang dari
cita-cita awalnya menjadi guru, tapi kami yakin dan percaya, jerih payah kami
akan terbayar nantinya. Itulah sedikit goresan kisah kami “Sejalan”mencapai
mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar